Kematian tidak pernah menunggu kesiapanmu. Kau lah yang harus bersiap-siap akan hal itu.
***
Sore itu Aku sedang sibuk mengetik naskah kesepuluh dari karyaku saat Bi Nina mengetuk pintu lalu masuk sebelum Aku mempersilakan.
"Anter Bibi, yuk."
Keningku mengernyit. "Ke mana?" tanyaku cengo, nggak biasanya Bi Nina bepergian di waktu sore.
"Ayahnya Bu Mela sakit dan di bawa ke RS tadi pagi, Bibi cuma pengen jenguk sekalian bawain makanan aja."
Ayahnya Bu Mela, it means Abah Yaya. Selama tiga tahun Aku tinggal di sini, belum pernah sekalipun Aku bertemu dengan Abah Yaya. Aku hanya mengetahui namanya dari Bu Mela, berhubung wanita paruh baya itu sering kali menceritakan Ayahnya yang makin tua tingkahnya makin seperti anak kecil.
Berdasarkan cerita Bu Mela, Abah Yaya ini udah renta banget. Ditambah beliau memiliki penyakit jantung koroner, hal itu membuat Abah Yaya sudah jarang keluar rumah. Wajar jika Aku tidak pernah bertemu dengan Abah Yaya. Selain karena Aku sibuk dengan kerjaan, Abah Yayanya sendiri suka mendem di rumah.
"Malem aja gak, sih, Bi? Nunggu Mang Azzam pulang," usulku. Abis ini nanggung banget waktunya, satu setengah lagi aja udah maghrib.
"Kamu lupa ya kalau Mamangmu itu lagi keluar kota?"
Aku nyengir kuda begitu teringat akan fakta tersebut. "Oh iya juga ya. Yaudah tunggu Aku siap-siap aja dulu, Bi," pungkasku, sekalian Aku silaturahmi juga kan dengan Abah Yaya. Lebih dari itu Aku merindukan Bu Mela, soalnya dari seluruh tetangga di kompleks ini. Hanya Bu Mela lah yang paling baik, bahkan Aku dan Bu Mela sudah seperti Ibu dan Anak kalau bertemu dan berinteraksi.
Bi Nina menurut, lalu keluar dari kamarku. Untungnya Aku sudah mandi saat hendak salat ashar tadi, jadilah Aku tinggal mengganti baju saja karena ashar tadi Aku langsung memakai baju tidur. Memang pada dasarnya Aku jarang ke mana-mana, yaudah kalau mandi sore langsung pake baju tidur.
Tepat pada pukul jam empat lebih dua puluh kami berangkat ke rumah sakit dengan diantarkan oleh Andra menggunakan mobil Ayahnya. Di jalan kami sempat membeli buah-buahan terlebih dahulu karena Bi Nina lupa membelinya saat ke pasar tadi pagi.
Setibanya di rumah sakit kami bertiga langsung menyusuri lorong, menaiki lift hingga sampai di ruang rawat inap Ayahnya Bu Mela.
"Assalamualaikum." Kami berdua mengucap salam berjamaah sebelum akhirnya di persilakan masuk. Andra tidak ikut menjenguk karena lelaki itu malah pergi ke tempat lain untuk menemui temannya sebentar.
Mendapati Bu Mela yang tengah duduk di dekat ranjang Aku pun menghampirinya dan menyalaminya.
"Ini calon Akbar, La?" tanya Abah Yaya pada Bu Mela dengan tatapan yang menyorot ke arahku.
Semua orang yang berada di ruangan tersebut membatu sebentar termasuk Aku yang mengernyit bingung. Aku menatap Bu Mela mencari kebenaran , lantas ia menatapku sendu, dari binar matanya ia seolah berisyarat meminta sesuatu padaku.
Tatapannya beralih pada pria paruh baya yang umurnya sudah lebih dari setengah abad. Seutas senyum tercetak di wajah Bu Mela kemudian berkata. "Iya, ini Hanum, calonnya Akbar."
Aku membelalakkan mata, saat itu Bu Mela menatapku dan Aku menatapnya meminta penjelasan. Dari raut wajahnya yang tidak secerah biasanya, Aku menangkap gurat permohonan, beberapa kali ia menganggukkan kepalanya kepadaku.
Mendapati Aku yang masih bingung dan tak mengerti, lantas ia meraih jemariku. Ia juga melemparkan senyum padaku.
"Berpura-puralah, Bunda mohon," bisiknya pelan sekali di daun telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...