UW-55

3.5K 403 77
                                    

Benar kata orang, segala hal yang diucapkan saat sedang emosi itu hanya akan berbuah penyesalan. Seperti rasa sesalku yang kian membebani setelah mendengar penuturan dari Kak Riyana. Dengan teganya Aku menuduh Mas Akbar yang tidak-tidak serta meragukan dirinya.

Padahal sebelum kami meresmikan pernikahan secara negara pun dia sudah sempat bilang bahwa dia nggak akan mungkin menyetujui pernikahan ini apa bila hatinya masih terpaut pada perempuan lain. Hanya karena satu peristiwa yang belum jelas kebenarannya, Aku mengambil kesimpulan terlalu dini hingga berujung penyesalan seperti ini.

Agak merasa malu juga karena dalam usia yang sudah dewasa ini Aku belum bisa sepenuhnya menyikapi suatu masalah dengan lebih bijak. Lagi pula bagaimana bisa Aku melupakan semua kebaikan Mas Akbar hanya karena satu kesalahan yang ia buat secara tak sengaja.

Terlebih Mas Akbar sudah sering membahas rencana-rencana ke depannya untuk pernikahan kami. Harusnya itu sudah cukup membuatku yakin bahwa Mas Akbar memang memilih Aku untuk menjadi satu-satunya di masa sekarang juga di masa yang akan datang. Belum lagi ijab qabul yang ia ikrarkan beberapa bulan yang lalu. Mana mungkin dia mempermainkan ikrar sakral itu.

"Yaelah, Nu, kamu lagu mikirin apaan, sih?! Kusut banget mukanya. Lagi berantem sama Kak Akbar ya?" Suara Azizah mengintrupsiku. Aku yang sejak tadi tidak fokus pada orang-orang di sekitarku kemudian hanya bisa mengerjap pelan seperti orang bodoh dan hal itu jelas semakin menambah kecurigaan Azizah.

"Yah, ini mah kayaknya emang lagi ada masalah. Kenapa, sih?!"

Ekspresiku segampang itukah buat ditebak? Atau mungkin Aku memang kurang bisa menyembunyikan gelagat resah yang sejak tadi menghimpit dada hingga rasanya untuk bernapas saja sulit.

"Ah, nggak, kok, Zi. Aku cuma... lagi mikirin kerjaan yang belum kelar." Itu fakta, karena sejak pertengkaran itu kerjaanku agak molor. Namun, kupastikan bulan ini Aku akan dapat mencapai target. Tentu setelah menyelesaikan masalah pribadiku. Agak kurang profesional mungkin.

"Kalau belum kelar, kenapa kamu maksain ke sini? Harusnya kamu bisa memilah mana yang prioritas dan yang tidak. Aku juga tahu kamu nggak butuh nasihat apa-apa lagi karena kamu udah dewasa. Tapi kenapa kamu bisa se-ceroboh itu sampe ada kerjaan yang molor? Apa yang dibilang sama... "

Aku mengangkat kedua tangan, menyuruh Humaira berhenti mengoceh karena deretan kata yang terucap itu malah membuat kepalaku pusing.

"Santai dong! Jangan suuzan gitu, Aku sama Mas Akbar baik-baik aja, kok."

Azizah dan Humaira saling melempar pandang. Lalu keduanya menatapku dengan seringaian kecil. Raut wajah keduanya juga tidak terbaca. Apa ada perkataanku yang salah?

"Kenapa kamu tiba-tiba ngasih klarifikasi kayak gitu? Aku nggak nuduh macem-macem perasaan."

Aku menelan ludah kelat, berusaha tersenyum selebar dan semanis mungkin untuk menutupi gelagat gelisahku.

"Mau Aku tanyain langsung ke Kak Akbar nya atau kamu mau cerita sama kita?"

Skak mat! Aku udah nggak bisa berbohong lagi. Azizah dan Humaira berhasil menebak dengan tepat. Dan Aku terlalu bodoh untuk menyembunyikan semua ini. Dibanding bertemu Humaira, harusnya Aku menelepon Mas Akbar terlebih dahulu untuk menyelesaikan perkara rumah tangga kami.

"Ya, silakan tanyain aja." Dan, daripada harus mengalah serta mengakui semuanya. Aku masih mencoba opsi terakhir agar keduanya bisa mempercayaiku. Bisa tengsin kalau masalah rumah tangga ini tersebar pada Humaira dan Azizah. Karena Aku yakin yang akan keduanya lakukan tak lain dan tak bukan adalah menertawakanku. Sebab masalah ini datang dari prasangka burukku sendiri.

Kemungkinan Mas Akbar akan memberi tahu Humaira dan Azizah juga kecil mengingat pria itu sangat tertutup. Kalau dia menghargaiku, dia pasti nggak akan mau mengakui masalah ini pada dua sahabatku. Aku harap begitu.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang