UW-16

3.3K 261 6
                                    

Happy Reading, Dear.
...

Beberapa tahun yang lalu Aku pernah membaca sebuah kutipan, katanya setiap luka membutuhkan waktu. Maka, biarkan waktu menyembuhkannya. Kita tak perlu berusaha sekeras mungkin agar luka itu cepat memudar, toh semuanya butuh waktu dan proses. Dan kenapa kita se-tergesa-gesa itu untuk membuatnya sembuh jika sejak awal kita sudah diberi tahu bahwa lambat laun luka akan sembuh dengan sendirinya.

Aku mempercayainya, tetapi saat itu Aku belum mengalaminya sampai di usia ke dua puluh cinta yang kupupuk selama delapan tahun berujung dengan jeritan rasa sakit. Saat itu tidak ada solusi lain yang mampir di benak kepala selain pemikiran bahwa Aku harus keluar dari situasi ini dengan melarikan diri. Lari dari apapun yang membuat hatiku patah. Padahal sejauh apapun kita lari dan mencoba menghindar, kenyataannya akan tetap sama.

Aku akui saat itu Aku terlalu terburu-buru dalam memutuskan sesuatu. Keputusanku untuk pindah ke Bandung tak banyak memberi perubahan dalam hidupku di tahun pertama, rasa itu masih tetap ada dan sakitnya masih sering kurasa. Aku telat menyadari bahwa satu hal penting yang harus kulakukan terlebih dahulu agar rasa sakit itu tidak menghancurkan jiwaku adalah sebuah penerimaan; ikhlas. Sayangnya Aku baru menyadari hal itu di awal tahun ke dua Aku menetap di Bandung.

Perlahan Aku mulai ikhlas, menerima semuanya dengan lapang dada tanpa harus menyalahkan siapapun. Percaya bahwa takdir tidak akan salah memilih orang. Mulai menata kembali kehidupan yang agak berantakan di tahun lalu sampai Aku bisa fokus pada diri sendiri dan rasa itu berangsur-angsur pudar.

Katanya selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Dan Aku berhasil menemukan diriku setelah kejadian itu, berkat patah hati itu juga Aku mulai menulis blog hingga sekarang Aku menjadi content writer di sebuah perusahaan media. Hari ini Aku dengan senang hati ingin mengucapkan terima kasih pada luka itu, karena berkatnya Aku bisa menjadi versi Hanum yang sekarang.

"Abang kan udah bilang dari seminggu yang lalu buat minta cuti sama atasan kamu. Udah H-3 lho ini, Dek. Dan kamu masih sibuk nulis."

Aku bersorak senang saat projek terakhirku selesai bertepatan dengan gerutuan Bang Faris. "Ini udah, kok. Besok Aku nggak akan kerja lagi. Lagian kan dikasih cutinya cuma dua minggu dan dimulai dari besok," kataku tersenyum manis untuk merayu Bang Faris usai menutup laptop.

"Awas aja kalau besok masih keliatan kerja. Abang bakalan jual laptop kamu."

"Enak aja main jual. Ini sumber penghasilan Aku, lho, Bang." Aku mencebikkan bibir.

"Lagian kamu itu mau nikah ...."

"Ralat, udah nikah. Kan Abang sendiri yang nikahin Aku sama Mas Akbar." Aku meniru ucapannya beberapa waktu lalu.

Pletak.

"Aww." Aku meringis pelan. Kebiasaan buruk Bang Faris ini membuatku muak jadi adiknya.

"Kepala Aku bisa geger otak kalau Abang giniin terus?!" protesku. Sejak kecil Bang Faris memang hobi mencelakaiku, Abang durhaka memang.

"Ini yang terakhir, deh." Pria yang tertaut enam tahun denganku itu hanya cengengesan.

"Besok-besok Aku aduin sama Mas Akbar biar tahu rasa!"

Pletak.

"Aww."

Yang terakhir apanya?

"Dasar cepu!"

"Abanggg!" teriakku. Saking kesalnya Aku sampai bangkit dari kursi dan menggertakan gigi.

"Maaf, Dek. Lagian ya kamu itu harus fokus sama acara tiga hari lagi bukannya asik sama laptop." Setelah mengusap kepalaku pelan, Bang Faris hendak keluar.

Namun, sebelum dia benar-benar pergi Aku mencekal tangannya. "Bang, Aku mau ngobrol sebentar sama Abang."

"Tumben, nggak mau ngelanjutin nge-date sama laptop?"

"Ini serius, Bang!" tegasku lalu menutup pintu kamar.

"Langsung aja, mau ngomongin apa?"

Aku mengambil napas panjang. "Apa yang bikin Abang seyakin itu sama Mas Akbar? Selain karena dia sahabat Abang dulu."

"Abang kira kamu mau nanya apaan."

Lah.

"Ya jawab dulu yang ini," desakku tak sabaran. Aku sih ogah kalau Bang Faris hanya melihat Mas Akbar sebagai sahabat doang.

Bang Faris mendekatiku, kemudian ia mengusap kepalaku. Seketika Aku langsung mengangkat wajah, menatap Bang Faris yang tampak lebih serius dibanding tadi.

"Justru itu karena Akbar sahabat Abang. Abang jadi kenal sama dia, ibaratnya Abang udah tahu betul sama sifat dan sikapnya. Abang juga udah bilang kan, Abang gak mungkin menyerahkan kamu sama orang yang nggak baik. Abang juga selalu bilang kan sama kamu, kalau nanti ada cowok yang mau sama kamu dia harus temuin Abang dulu biar Abang yang nyeleksi. Berhubung Akbar ini udah Abang kenal sejak SMA, jadi Abang gak perlu lagi buat nyeleksi dia. Dan sejauh ini menurut Abang nggak ada pria yang lebih baik buat kamu dibanding Akbar."

Bang Faris menjeda perkataannya, pria yang berbagi dna denganku itu tampak menarik napas panjang.

"Kalau kamu nggak yakin sama ucapan Abang dan masih merasa ragu. Coba kamu istikharah aja."

"Udah, sih, pas malem setelah lamaran. Tapi Aku gak dapet tanda apapun, waktu itu Aku bahkan nggak mimpi sama sekali." Aku jadi kembali teringat pada malam di mana Aku bangun dini hari hanya untuk menyerahkan segala sesuatunya pada Allah, tentu beberapa jam sebelumnya Aku telah melakukan istikharah.

"Tapi besoknya kamu langsung nikah, kan?"

Aku mengangguk polos, iya juga, sih.

"Yaudah itu jawaban dari Allah."

Selepas itu Bang Faris keluar dari kamar, sementara Aku termenung memikirkan jawabannya. Benar juga ucapan Bang Faris, Aku memang tidak mendapat tanda apapun dari mimpi, tetapi, esoknya Aku langsung dinikahkan secara tiba-tiba. Dan tanpa rasa ragu Aku langsung menyetujuinya begitu saja.

Derit pintu membuyarkan lamunanku, segera Aku menoleh ke arah pintu dan mendapai Mbak Dini dengan setelan rapinya tersenyum kepadaku . Begitu dia berderap pelan menghampiriku, harum parfum langsung menguar dari tubuhnya dan menusuk pangkal hidung.

"Mas Faris nyuruh Mbak buat ajak kamu ke spa. Jadi, ayo."

Mulutku sedikit menganga. "Kok, tiba-tiba banget gini sih, Mbak."

Ayolah, beberapa hal penting dalam hidupku terjadi secara mendadak belakangan ini. Semesta tidak sedang berkonspirasi untuk membuatku kena serangan jantung, kan?

"Ya kan ini kejutan. Yuk, cepet siap-siap." Mbak Dini menarikku agar bangkit kemudian mendorongku menuju lemari.

"Mbak tunggu di luar lima menit lagi ya!"

Aku mendengkus kesal, bukannya tak ingin, tapi bisakah dia memberitahunya lebih awal biar Aku dapat prepare lebih awal juga.

***
Part ini nggak sampai 1000 kata.

Nggak bakalan update sebelum yang vote komentar semua. Hehe.

Cuplikan bab berikutnya:

"Minum dulu, Num." Mas Akbar menyerahkan sebuah cup air mineral padaku. Aku tersenyum simpul karena sejak tadi kerongkonganku terasa sangat haus.

Saat pertama kali dipertemukan dengan Mas Akbar di pelaminan, Aku begitu terpesona padanya. Hanya dengan memakai kemeja putih yang ia balut dengan jas hitam serta celana katun hitam, membuat aura lelaki itu keluar. Dan jangan lupakan bunga yang tersemat di saku jasnya. Harus kuakui ia tampak lebih keren dengan balutan pakaian ini. Aku seperti sedang menikahi sosok CEO yang ku impi-impikan.

Yakin nggak penasaran? Diharapkan untuk memeriahkan kolom komentar. Tapi tidak menerima kata 'Next' atau 'Lanjut'. H3h3.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang