UW-29

3.4K 283 21
                                    


Sepertinya moodku sedang baik di sabtu pagi kala itu sampai-sampai Aku menolak usulan Bang Faris untuk memanggil house keeping ke rumah dan memilih untuk membersihkan rumah ini sendirian. Lebih dari itu rumah peninggalan orang tua kami ini tidak cukup kotor dan berantakan, sehingga tidak memerlukan house keeping sesering yang Bang Faris lakukan.

Moodku tambah naik saat Aku dan Mbak Dini memutuskan untuk menonton film sambil nyemil karena para suami kami sedang tidak berada di rumah. Kepergian Bang Faris dan Mas Akbar ke tempat gym merupakan salah satu hal yang patut disyukuri bagiku, karena kehadiran dua orang itu sering kali merusak hariku.

"Mbak, go-food pizza, dong!" seruku di sela-sela menonton tv. Jelas Aku sedang meminta traktir pada Kakak Iparku, sesekali 'kan memang harus diminta sedekahnya.

"Pengen, sih, tapi Abang kamu ngelarang Mbak buat makan junkfood. Katanya gak sehat buat kandungan Mbak." Bang Faris yang tengilnya minta ampun itu ternyata sangat protektif dan perhatian pada Mbak Dini.

"Sesekali gapapa kali, Mbak. Ntar bilang aja ke Bang Faris kalau Mbak lagi ngidam pizza. Clear deh permasalahannya," kataku memberi solusi yang lebih condong pada alibi belaka.

"Boleh juga. Yaudah kamu pesen aja, ntar Mbak yang bayarin. Belinya sekalian dua yang ukuran medium. Satunya buat kita satunya lagi buat para bapak-bapak, anggap aja sogokan buat Mas Faris."

Asik, 'kan enak dijajanin kayak gini. Uangku jadi terselamatkan. Ngomong-ngomong soal uang, Mas Akbar sampai sekarang belum ngasih sepeser pun nafkah sama Aku. Kecuali traktiran malem itu sama beberapa kali dibayarin belanjaan, sih. Besok-besok Aku mau nuntut hak Aku, ah.

Eh, gimana kalau dia ikutan nuntut haknya juga? Bisa mati Aku.

"Minumannya nggak sekalian, Mbak?" tanyaku. Seret dong tenggorokan kalau cuma beli pizzanya doang.

"Mbak sih prefer bikin jus aja atau minum air putih. Tapi kalau kamu mau, pesen aja, Dek, ntar Mbak sekalian bayarin."

"Aku mau bikin jus juga ajalah biar menghemat pengeluaran. Btw, makasih, Mbak." Ucapan Mbak Dini ada benarnya juga, minuman-minuman yang tengah viral sekarang kandungan gulanya melampaui batas maksimal konsumsi. Ngeri 'kan kalau sampai di usia masih muda udah kena diabet cuma gara-gara sering beli minuman semacam itu hanya karena iming-iming promo harga murah.

"Menghemat pengeluaran apanya,'kan yang bayarin Mbak."

Aku menyengir lebar. "Iya, maksudnya menghemat pengeluaran Mbak," kataku meralat ucapan tadi.

"Kamu jadi pulang hari senin?"

Perkataan Mbak Dini mengingatkanku akan kepulanganku yang tinggal dua hari lagi. Aku agak nggak ikhlas pulang lagi ke Bandung karena merasa sudah nyaman di sini. Walau begitu Aku juga tidak bisa menghentikkan kepulanganku mengingat keputusan sudah berada di tangan Mas Akbar dan Aku selaku istri harus mau dia ajak ke mana pun.

Tetapi, Aku juga sudah merindukan Bandung. Rindu juga sama orang-orang di sana. Makanya, pulang ke sana tuh antara sedih dan senang aja. Senang karena dapat kembali bertemu dengan keluarga Bi Nina, agak sedih karena nanti Aku harus beradaptasi dengan keluarga Mas Akbar.

"Jadi, kok."

"Ntar kalau udah di sana, sering-sering main ke sini, ya." Mbak Dini mengusap bahuku. "Jangan ngilang kayak dulu lagi, Mbak nggak siap kalau harus ke Bandung mulu cuma buat ketemu kamu."

Mataku sudah memanas, ditatap lamat-lamat oleh Mbak Dini seperti itu membuatku merasa bersalah padanya karena telah meninggalkan ia serta Bang Faris hanya untuk memenuhi egoku sendiri.

"Santai, aku bakalan usahain buat keep in touch sama kalian. Kan sekarang udah punya suami, bisalah minta dia anter jemput Bandung-Jakarta." Lagaknya aja yang keliatan bangga punya suami, padahal mah heran sama hidup sendiri. Kok, tiba-tiba bisa punya suami.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang