UW-40

3.6K 318 35
                                    

Writers block. Aku lebih sering menyebutnya sebagai "time to heal" atau alarm natural dari tubub agar Aku meluangkan waktu untuk merefresh pikiran. Padahal jelas maknanya sangat jauh berbeda.

Writers block itu hal yang lumrah dialami oleh para penulis, di mana para penulis merasa kehabisan ide. Writers block ini juga jenis penyakit yang nggak pernah bisa ditemukan obatnya. Aku memaknainya berbeda hanya agar hal tersebut tidak menghancurkan moodku atau malah membuatku stress.

Menurutku pemaknaan kita akan sesuatu itu sangatlah penting. Kita bisa saja mengubah hal negatif menjadi positif andai kata kita dapat menafsirkannya dan melihatnya dari sudut berbeda. Beberapa hal negatif memang harus diubah konotasinya menjadi positif agar kita tidak terlarut dalam kesuraman.

Selain itu, ini bukan Writers block pertamaku. Sebelumnya Aku sudah sering mengalami hal ini. Tapi ... case kali ini berbeda. Bulan lalu Aku tidak menyelesaikan target bulanananku, hal itu berakhir dengan peringatan serta cercaan yang Aku dapatkan dari atasanku. Tentu gajiku juga ikut terpotong.

Jumlah artikel yang kurang di bulan lalu itu sengaja dilimpahkan pada bulan ini. Nahasnya belakangan ini Aku sangat hectic sekali. Fase peralihan dari single menjadi seorang istri ternyata tidak mudah, karena ada banyak waktu yang biasanya kualokasikan untuk pekerjaan, kini ku alokasikan untuk hal lain. Belum lagi naskahku yang mangkrak sejak bulan lalu. Dan kini Aku terkena writers block. Roman-romannya Aku harus menyempatkan liburan ke swiss dulu.

Lucunya, dulu saat penyakit ini kambuh dan menyerangku. Aku selalu berpikir untuk menikah saja keuanganku bisa stabil, dan tentunya agar Aku bisa resign serta tidak perlu khawatir soal keuangan. Sekarang, Aku sudah memiliki Mas Akbar, resign aja kali ya?

"Kenapa?" Aku yang semula rebahan di sofa sembari memijit kepala pelan, lengkap dengan mata memejam, spontan bangkit ketika Mas Akbar tiba-tiba masuk ke ruang kerja dan mengajukan pertanyaan tersebut. Iya, Aku sengaja mengerjakannya di ruang kerja Mas Akbar dengan harapan semoga penyakit tersebut cepat hilang.

"Nggak tau, rasanya pengen nangis aja, gitu." Duh, dulu boro-boro Aku bisa ngeluh kayak gini. Sekalinya ngeluh pun paling nitip sambat di twitter.

"Aneh banget. Biasanya juga kalo pengen nangis langsung nangis, nggak ada tuh acara merasa-rasa terlebih dahulu."

Aku memanyunkan bibir. Nggak mau berharap Mas Akbar dapat membujukku atau merayuku, atau setidaknya menghiburku karena lelaki itu sangat sulit ditebak. Terlebih Aku nggak mau mengambil hati ucapannya.

Tapi kali ini, lelaki itu malah mengusap kepalaku lalu kembali bertanya dengan suara lembut. Satu hal yang nggak pernah Aku sangka sebelumnya. See? Dia sangat unpredictable melebihi perkiraan cuaca.

Kepalaku bersender pada bahunya. Enak banget, sekarang ada benda bernyawa yang bisa disenderin."Aku lagi agak stress aja, Mas. Target artikel bulan ini nambah dan Aku sama sekali belum nyampe seperempat dari target. Mana sekarang lagi kena writers block lagi."

Aku sama sekali tidak menyembunyikan raut lelah serta betapa badmoodnya Aku saat ini. Anehnya kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya.

Aku melirik lelaki yang kini duduk di sebelahku."Mas ada ide gak? Kebetulan topik yang Aku tulis random gitu. Topik yang berat-berat juga gapapa, Aku bersedia riset, kok."

Kedua manik lelaki itu mengerling. Aku jadi waspada saat melihatnya. "Kamu nggak keberatan kalau nulis dengan tema makanan?"

Aku menggeleng, sebuah senyum terukir di kedua bibir Mas Akbar. "Dari kemarin saya kepikiran buat kerja sama bareng blogger buat mempromosikan usaha saya dengan cara meliput cafe saya. Sekalian mau branding buat cabang baru juga. Tapi... berhubung kamu juga seorang penulis, mari kita bekerja sama."

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang