UW-12

3.5K 266 3
                                    

Happy Reading, Dear.

...

Aku sengaja bangun agak siang hari ini hanya karena aku sedang kedatangan tamu bulanan. Aku bahkan nyaris melupakan pernikahan dadakan kemarin siang, jika saja lelaki itu tidak datang ke rumah Bibi untuk mengajakku ke rumahnya.

Beberapa kali aku mencubit pipi sendiri, berharap bahwa kenyataan yang sedang terjadi ini hanya sebuah mimpi buruk yang tak benar adanya. Sayang seribu sayang Aku tidak dapat menyangkal, apa lagi saat melihat sebuah cincin berlian yang melingkar pas di jari manisku. Cincinnya sederhana, tetapi, sangat cantik. Tapi ... pernikahan ini, apa yang kuharapkan dari pernikahan dadakan yang dilaksanakannya pun seadanya.

"Bi, bisa gak sih pernikahannya dibatalin aja. Aku sama dia juga baru nikah satu hari dan kami belum saling menyentuh satu sama lain." Andai, andai aku seberani itu untuk menyuarakan pendapatku.

Aku bukannya tidak bisa menyuarakan pendapatku, namun, aku sudah kadung berjanji pada Bu Mela. Aku sudah terlanjur menyetujui pernikahan ini. Melihat semua orang di sekitarku sangat bahagia, terutama Abah Yaya, rasanya Aku tak tega bila harus menjadi penghancur kebahagiaan ini.

Jika ada yang berhak di salahkan di sini, mungkin jawabannya Aku sendiri. Karena Aku tak pernah berani egois untuk kebahagiaan diri sendiri. Aku tak seberani itu, dan Aku memang selemah itu.

"Jalanin aja dulu, Neng. Nggak ada salahnya juga buat menerima Akbar. Kalau bukan dia yang lamar sih, Bibi juga nggak mungkin sesetuju itu. Bibi nggak minta kamu buat percaya kalau dia itu baik. Bibi cuma mau kamu menilainya dengan kacamata kamu sendiri. Kenali dia secara pelan-pelan. Kalau cocok, insyaallah pernikahan kalian bakalan langgeng meskipun kalian sama-sama disatukan secara tiba-tiba."

Tampaknya Bi Nina dapat membaca isi pikiranku dari raut wajahku yang agak muram, walaupun sedari tadi Aku terus memasang senyum lebar.

"Yaudah ya, Bi, kalau emang jodohnya mah apapun caranya pasti disatuin juga, kan?"

"Kalau nanti ada apa-apa, kasih tahu Bibi aja ya." itu adalah pesan dari Bi Nina sebelum Aku keluar dari rumahnya bersama Mas Akbar.

"Bang, kata Bunda ditunggu secepatnya." Dan itu kalimat terakhir yang keluar dari mulut Mas Akbar untuk Bang Faris.

"Sejak kapan kamu sahabatan sama Bang Faris?" Sengaja Aku mencari topik obrolan agar atmosfir canggung di antara kami lenyap. Kami memang berjalan beriringan, layaknya pasangan suami istri pada umumnya, tetapi, hati kami berdua entah tertuju pada siapa.

"Sejak SMA. Dulu, saya pernah sekali mampir ke rumah kalian. Dan ketemu juga sama orang tua kamu."

Aku nggak menyangka bahwa Mas Akbar akan menjawab dengan kalimat agak panjang. Ia bahkan memberitahukan satu fakta baru.

"Kapan emang? Aku bahkan gak tau Bang Faris punya sahabat lain, dan itu Mas. Karena dulu Bang Faris emang suka banget ngajakin temen-temennya ke rumah." Saking seringnya Bang Faris membawa teman lelakinya ke rumah, Aku sampai hafal dan kenal sama mereka.

"Pas kelas tiga SMA. Wajar kalau kamu nggak kenal sama saya, kan saya udah bilang kalau saya cuma ke rumah kamu satu kali doang."

Aku segera membuang pandangan saat mata kami berdua tak sengaja bertemu. Rasanya masih aneh, Aku bahkan memberi jarak di antara kami. Oke, first impressionku mulai berubah. Kemarin sih kukira dia orangnya super dingin, irit bicara, serta sombong. Jika melihat responnya barusan, dia lumayan asik juga walau nada bicaranya sangat datar. Aura dinginnya juga masih melekat. Pria di sampingku ini tampak memasang tembok tinggi yang membuatnya agak sulit disentuh.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang