UW-37

3.4K 312 43
                                    

Subuh tadi adalah subuh terakhir kami bersama Abah Yaya. Salat subuh tadi adalah salat terakhir yang beliau laksanakan. Siapa yang mengira bahwa sujudnya yang lama itu merupakan penutup hidupnya. Kami baru sadar bahwa beliau tidak sadarkan diri dan sudah tak bernyawa saat tubuhnya terkulai dari posisi sujudnya. Abah Yaya sudah menuntaskan perjalanannya di dunia.

Pukul lima lebih lima, sebuah teriakan dari Bunda menggema di kamar Abah Yaya berikut dengan tangisan yang pecah saat itu juga. Aku yang sedang khusyuk membaca Al-Quran bergegas turun dan menemui Bunda, juga Mas Akbar serta Kak Husein yang baru datang dari mesjid seketika langsung menyusul Bunda. Tak terkecuali Mbak Zahra yang kala itu sedang asyik berdzikir karena dia sedang berhalangan.

Semua orang menangisi Abah Yaya kala itu, kecuali Mas Akbar. Di tengah tangisan yang berderai, Mas Akbar satu-satunya orang yang berdiri tegar sambil menguatkan bahu semua orang.

"Tenangin Bunda, ya. Saya mau panggil Pak RT sama beberapa orang buat mengurusi jenazah Abah," pesannya waktu itu, suaranya masih hangat dan lembut. Ekspresi wajahnya juga tenang, tidak kutemukan gurat sedih yang menghiasi wajahnya selain sorot matanya yang kala itu nampak agak sendu.

Pemberitahuan mengenai kematian Abah Yaya yang disampaikan melalui pengeras suara mesjid membuat rumah ini langsung dipenuhi para petakziah. Keluarga Bi Nina yang mengetahui itu langsung bergegas datang ke rumah ini dan membantuku beberes.

Tepat pukul jam sembilan pagi kami sekeluarga baru selesai menguburkan jenazah Abah Yaya. Para pe-takziah dari luar daerah mulai berdatangan, tanpa terkecuali beberapa teman Mas Akbar. Selain itu beberapa bunga papan sebagai ucapan berbela sungkawa juga kami dapatkan dari rekan Kak Husein juga rekan Mas Akbar.

Bang Faris

Bang, Abah Yaya meninggal. Aku harap Abang sama Mbak Dini bisa ke sini secepatnya.

Keadaan waktu itu cukup chaos hingga Aku baru bisa mengabari Bang Faris setelah proses penguburan jenazah Abah Yaya. Bunda juga sempat nyaris pingsan di TPU begitu jenazah Abah Yaya memasuki liang lahat.

Dan setibanya di rumah Bunda tak sadarkan diri hingga harus diboyong masuk ke kamar oleh Mas Akbar. Aku sendiri diamanahi oleh Mas Akbar untuk menjaga Bunda.

"Minum dulu, Bun." Aku menyerahkan  segelas air putih pada Bunda yang baru siuman. Tatapannya kembali kosong, air matanya juga kembali berjatuhan. Aku tahu persis rasa kehilangan itu, dan rasanya memang teramat menyakitkan.

Buru-buru Aku memeluk Bunda, tanpa sadar air mataku juga ikut keluar. "Abah meninggal pas lagi sujud, nggak ada waktu yang paling mulia saat meninggal selain sedang bersujud. InsyaAllah Abah salah satu orang yang dijaminkan surga."

Betapapun Aku iri pada Abah Yaya, beliau menutup usianya ketika sedang menghadap Allah. Begitu mulia Abah Yaya sehingga ajal menjemputnya tepat saat ia sedang bersujud dalam salatnya.

"Bunda yang ikhlas ya. Abah juga pasti nggak seneng kalau liat Bunda kayak gini." Aku terus menerus mengusap punggung Bunda yang tengah terguncang, isakan-isakan pelan mulai terdengar di gendang telingaku.

"Neng." Aku lantas menoleh ke sumber suara, mataku mengerling begitu mendapati Bi Nina.

"Kata Akbar kamu belum makan dari pagi, makan dulu, gih. Bibi udah masak buat kamu, Bu Mela biar sama Bibi aja."

Aku tersenyum kaku kemudian berdiri lalu bergegas keluar dari kamar Bunda. Perutku memang sudah keroncongan sejak tadi. Aku nggak sempet makan apapun karena suasana pagi tadi begitu hectic, syukurlah suasananya sudah kondusif sekarang walau rumah ini masih dipenuhi oleh para pe-takziah yang datang dari daerah lain.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang