UW-7

3.2K 251 3
                                    

Happy Reading.

***

"Neng, kemarin Amang dikasi tahu Faris kalau Dini lagi hamil. Sekitar kurang dari dua minggu lagi mereka bakalan ngadain acara empat bulanan, Mamang sama Bibi disuruh datang. Kamu juga disuruh datang, dan kamu ... mau pulang?" Paman Azzam membuka suara.

Aku yang asyik dengan camilanku lantas berhenti mengunyah dan menelannya spontan. Tadinya Aku tak berniat memberitahu dahulu kabar ini. Sayangnya Aku lupa bahwa Bang Faris juga punya koneksi dengan Paman Azzam, Aku yakin Bang Faris nyuruh paman Azzam untuk membujukku.

Ish sebel banget deh!

"I-iya Mang, Mamang sama Bibi mau dateng?" tanyaku. Sengaja Aku tak menjawab pertanyaan Paman Azzam lebih dulu, karena Aku masih bimbang akan jawabannya.

"Tentu kami bakalan datang, Neng," ucap Bi Nina dan Paman Azzam barengan.

"Kamu juga harus pulang ya, kasihan Bang Faris udah nungguin kamu dari lama," bujuk Paman Azzam.

Aku terdiam beberapa saat. Bang Faris sudah kembali mengancamku tadi sore, katanya bila Aku nggak pulang dia akan menjodohkanku secara paksa dengan temannya.

"Neng." Bi Nina menggenggam tanganku, setelah ia duduk di sampingku.

"Pulang ya, jangan kayak gini terus. Kasihan Abangmu, dia udah nunggu Neng dari lama," ujarnya lirih.

"Ikhlas Neng. Dia bukan yang terbaik buat Neng, percaya, Allah lagi nyiapin yang terbaik dari yang baik buat Neng," lanjut Bi Nina yang malah kian membuka kenangan-kenangan pahit di tiga tahun silam. Bi Nina tentu mengetahui detail cerita tentangku yang menyimpan rasa pada Kak Adam selama delapan tahun.

Air mataku meluncur ke permukaan. Bukan karena Aku gagal melupakan dia, tetapi, karena Bi Nina begitu peduli padaku dan mengerti perasaanku. Tapi kalau boleh jujur rasa sakit itu masih ada, sesekali sesaknya masih menghimpit dada. Apa lagi saat kepingan masa lalu itu melintas ke dalam benakku.

"Aku pulang, kok, Bi," balasku setelah lama terdiam.

Bi Nina yang mendengarnya langsung memelukku karena kegirangan. Selama tiga tahun di sini, baik Bang Faris maupun Bi Nina selalu membujukku untuk sesekali ke Jakarta. Dan baru kali ini Aku mengiyakan permintaan mereka. Lebih dari itu Aku memang ingin ikut serta dalam acara syukuran empat bulanan Mbak Dini.

"Pulangnya mau bareng sama Bibi atau gimana?"

"Bareng sama Bibi aja, kalau sendirian males banget," jawabku. Padahal aku lebih senang bepergian sendirian. Tapi khusus ke Jakarta kali ini Aku ingin pulang bareng dengan Bi Nina dan sekeluarga, biar nggak ngeluarin uang buat naik bus atau kereta, sih. Kan enak kalau bareng Bi Nina, soalnya pake kendaraan pribadi.

Walau begitu, kalau aku mau bisa saja Aku meminta Bang Faris untuk menjemputku atau meminta Mang Azzam untuk mengantarku. Kendati demikian Aku harus ingat satu hal bahwa kedua orang itu punya kesibukan yang sama, jadi Aku nggak mau merepotkannya.

"Aku ke atas dulu ya, Bi." Aku langsung berderap ke lantai atas lalu merebahkan diri di kasur. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Biasanya Aku akan melanjutkan naskahku yang aku publish di platform menulis gratis, tetapi malam ini entah mengapa seluruh tubuhku terasa penat dan mood menulisku sedang turun. Mungkin akan lebih baik Aku langsung istirahat saja.

Aku berniat ke kamar mandi untuk menggosok gigi serta mencuci muka saat sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk dan muncul di notifikasi pop up. Penasaran, Aku pun membukanya.

Assalamualaikum, Neng.

Pak Hadi. Kamu masih ingat tawaran itu kan? Kebetulan laki-laki yang mau Bapak kenalin sama kamu lagi ada di sini, katanya kalau kamu nggak keberatan dia pengen ketemu kamu secepatnya.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang