UW-38

3.4K 289 14
                                    

Kepergian Abah Yaya membuat rumah ini terasa hampa dan tak berpenghuni. Rasa kehilangan itu semakin menyeruak tatkala mengingat beliau yang sering kali menggoda cucu-cucunya ataupun menasihati cucu-cucunya.

Semburat duka tergambar jelas di semua penghuni rumah ini. Apa lagi Bunda yang mendadak jadi orang pendiam dan suka mengurung diri di kamar. Aku nggak bisa berbuat banyak selain membiarkan Bunda bergelut dengan dukanya, beliau pasti butuh waktu untuk menerima semua ini.

Ikhlas bukanlah perkara yang mudah. Perlu proses panjang untuk sampai di titik tersebut. Di titik di mana kita sudah berdamai dengan segala sesuatu yang menimpa, bahkan tak lagi mengingatnya.

Sehabis zuhur tadi, Aku langsung bertandang ke rumah Bi Nina untuk menemui Bang Faris yang sudah dua hari ini menginap di rumah Bi Nina usai bertakziah dan ikut berduka atas meninggalnya Abah Yaya. Kebetulan sekali seminggu ini ia kebagian bekerja WFA, alias bisa dikerjakan di mana-mana. Katanya juga workload-nya sedang longgar.

"Sendirian?" Pertanyaan itu menyambut kedatanganku.

Aku tak lantas menjawab dan lebih dulu menyalami Bi Nina kemudian mengangguk pelan. "Mas Akbar lagi ngecek Kafe," jawabku seadanya, suamiku itu sudah pergi sejak jam sembilan pagi. Entah dia sedang benar-benar pergi ke Kafe atau mungkin pergi ke tempat lain untuk menenangkan diri. Aku nggak terlalu mempermasalahkannya karena Aku memaklumi keadaan Mas Akbar.

"Tumben, biasanya kamu nempel mulu sama dia." Lebih baik Bang Faris tidak dianugerahi mulut saja, lantaran lisanya sering dipakai untuk mengejek orang lain dibanding mengucapkan hal-hal baik.

"Kami bukan kembar siam, Bang. Jadi gak perlu nempel mulu," kilahku, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh ledekannya. Walaupun itu memang benar adanya. Karena semenjak menikah dengannya Aku tak pernah sekalipun pergi sendirian keluar. Singkatnya Aku sudah terbiasa ditemani olehnya.

"Udah makan belum, Neng?" Aku tersenyum pada Bi Nina yang sudah menyelamatkanku dari perdebatan tak berguna barusan.

"Belum, nih. Belakangan ini nafsu makan Aku lagi turun," jawabku. Sejujurnya Aku sedang merajuk, kali aja Bi Nina mau menyiapkan masakan untukku atau kalau perlu menyuapiku. Sudah lama juga Aku tidak menerima suapan darinya. Aslinya Aku memang manja seperti ini.

"Mau Bibi buatin jamu peningkat nafsu makan, gak?"

Jawaban Bi Nina malah jauh dari ekspektasiku. "Duh, nggak, deh. Aku nggak suka jamu."

Aku tidak terlalu mempermasalahkan rasanya yang pahit, tapi baunya ituloh yang membuatku mual.

"Bibi masak pindang tongkol, mau gak?"

"Kalau disuapin sih mau." Aku memberikan cengiran di ujung kalimat.

"Idihhhhh, udah gede masih manja." Bang Faris kembali meledek, kali ini dia sambil bernyanyi. Aku tak menggubris ledekan Bang Faris dan malah berjingkrak senang karena Bi Nina menyanggupi permintaanku.

Selagi Bi Nina mengambilkanku makanan, mataku menyapu ke seluruh sudut rumah, mencari keberadaan satu sosok yang datang bersama dengan Bang Faris.

"Mbak Dini di mana, Bang?" tanyaku saat tak menemukan batang hidung ibu hamil tersebut. Padahal Aku merindukan Mbak Dini, terlebih Aku ingin sekali mengusap-usap perut Mbak Dini dan merasakan pergerakan dari janinnya.

"Lagi ada panggilan alam."

"Oh." Selama berada di sini, Mbak Dini dan Bang Faris menginap di kamarku. Ralat, bekas kamarku. Karena sekarang semua barang-barangku sudah berpindah tempat ke kamar Mas Akbar, meski nggak semuanya dipindahin karena kadang Aku juga suka bermalam di rumah Bi Nina apa bila sedang rindu.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang