UW-14

3.4K 290 6
                                    

Happy Reading, Dear.

...

Setelah ziarah kemarin, Aku dan Mas Akbar disuruh untuk mengurus berkas pengajuan isbat nikah ke KUA yang berada di Bandung walau pesta pernikahan nanti akan dilaksanakan di Jakarta. Dan benar saja, karena Abah Yaya memiliki koneksi dengan salah satu petugas KUA proses isbat nikah itu menjadi lebih mudah. Bahkan kalau kami mau, sebelum sebulan saja kami akan sudah bisa mendapatkan buku nikah. Definisi sat set sat set sekali bukan?

Walaupun begitu, keluarga kami berdua sepakat untuk menggelar pernikahan akhir bulan ini, yang artinya dua puluh lima hari lagi. Karena meski acara pernikahan kami akan dilangsungkan secara sederhana, tentunya hal itu tetap membutuhkan persiapan juga. Lebih dari itu Bunda dan Bang Faris sengaja mengulur waktu agar Aku dan Mas Akbar dapat saling mengenal terlebih dahulu sebelum kami disatukan dalam satu atap.

Tetapi, hal itu rasanya percuma saja bagiku. Karena diberi waktu untuk mengenal atau tidak pun pada kenyataannya kami sudah menikah. Toh, kami berdua tidak banyak berinteraksi dan sama-sama sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mas Akbar dengan pekerjaannya, dan Aku dengan pekerjaanku. Kami hanya sesekali bertemu untuk mengurus pernikahan, selebihnya kami saling diam. Atau mungkin baik aku maupun dia sama-sama punya banyak pertanyaan, tetapi urung karena canggung.

"Dua puluh hari, bisa kan, Ly?" tanyaku pada Lily. Saat ini Aku dan Mas Akbar sedang berada di butiknya, alasannya jelas untuk mengurus baju pengantin.

Mimpi apa Aku semalam sampai hari ini Aku dapat mengurus gaun pernikahan yang sudah aku impi-impikan sejak lama. Untuk konsep sendiri, Aku memilih desain sederhana ala Malaysian Bride. Keluarga kami sepakat untuk melangsungkan pernikahan tanpa mengusung adat istiadat tertentu, padahal baik Aku dan Mas Akbar merupakan suku sunda yang terkenal dengan adat pernikahannya. Jika Mas Akbar mau, mungkin di pernikahan nanti Aku akan mengenakan kebaya sunda dan memakai siger sunda.

"Aku bakalan usahain, Num. Tapi ...." Lily menggantungkan ucapannya, dia melirik Mas Akbar dan memerhatikan suamiku itu dari atas sampai bawah kemudian kembali menatapku, "dari mana kamu nemuin dia? Kamu nggak main pelet, kan?"

Bola mataku berotasi, tuduhan tak berdasar Lily itu membuatku agak kesal. Tetapi, beberapa detik kemudian kami tertawa, sementara Mas Akbar hanya berdiam diri sejak tadi.

"Ngada-ngada aja, kamu. Harusnya kalau main pelet, Aku bisa dapetin Mingyu bukan dia," kataku melemparkan sebuah candaan yang kembali mengundang tawa renyah dari Lily.

"Kenapa kalian buru-buru nikah kayak gini? Udah kayak dikejar deadline aja, nggak gara-gara accident, kan?"

Ya Allah, ini orang kenapa suuzan mulu.

Kalau dibilang accident nggak juga, lebih ke kami tidak punya pilihan lain dan sama-sama didesak oleh keadaan.

"Iya, nih, udah mau dua bulan." Bukannya mematahkan tuduhan Lily, Aku malah membenarkan. Soalnya kapan lagi Aku dapat mengerjai Lily seperti ini.

"Kok bisa kecolongan gitu, sih, Num?" Lily bangkit dari duduknya, raut wajahnya penuh dengan rasa keterkejutan. Saat itu mati-matian Aku menahan tawa.

Tatapannya melayang pada Mas Akbar. "Lelaki yang udah berani macam-macam sama kamu itu artinya dia nggak bener. Kenapa kamu masih mau sama dia? Meskipun dia ganteng, kamu nggak seharusnya milih dia, Num."

Mas Akbar yang kaget hanya bisa melongo mendengar omelan Lily. Dia beberapa kali menatapku dengan sorot yang sulit Aku terjemahkan.

"Ya justru karena saya ganteng, dia nggak maulah kehilangan saya gitu aja."

Aku cukup terkejut saat Mas Akbar membalas ocehan Lily dengan ucapan yang sama-sama terdengar membenarkan tuduhan Lily sebelumnya. Dan dia bilang apa tadi? Karena saya ganteng, narsistik sekali pria itu. Nahasnya dia sudah sah menjadi suamiku.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang