Namanya juga hidup bersama, nggak semuanya berjalan dengan mudah. Ada kalanya kami berbeda pendapat yang memunculkan ketegangan di antara kami berdua. Belum lagi satu per satu keburukan satu sama lain yang mulai terungkap.
Lalu, apa Aku menyesal telah menikah dengannya? Tentu tidak, justru Aku malah kian mencintainya. Gak peduli seburuk apa kelakuan dia yang mulai Aku ketahui, tapi ... sepertinya rasa ini sudah mengakar kuat di hati. Sampai-sampai Aku dengan mudah menerima semuanya dengan lapang hati. Toh, Aku sendiri sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Seperti sekarang misalnya. Saat Aku baru masuk ke kamar, Aku dikejutkan dengan kondisi kamar yang sangat berantakan padahal pagi tadi sudah kubereskan serapi mungkin. Dan pelakunya tentu Mas Akbar selaku suamiku.
"Nyari apa, Mas?" tanyaku usai mengesampingkan gemuruh emosi dalam dada.
"Earbuds saya, Num. Saya lupa naruhnya di mana, dan sampe sekarang belum ketemu." Kebiasaan buruk yang pertama, Mas Akbar sering lupa menaruh barangnya.
Aku gak masalah kalau dia lupa menaruh barangnya, tapi ya jangan sampai bikin kamar berantakan juga. Minimal kalau mau nyari tuh yang rapi. Kan Aku juga puyeng liat kondisi kamar yang sudah bak kapal pecah ini gara-gara ulahnya.
"Tolong bantuin nyari dong, Num, saya lagi butuh banget soalnya mau rapat sama staff yang di luar kota."
Aku memutar bola mata, inginku mencak-mencak tapi tak tega melihat tampangnya yang melas seperti bocah.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Aku masuk ke ruang kerja Mas Akbar lalu mengambil earbuds miliknya yang sedang Aku charger di sudut ruangan.
"Lain kali kalau mau nyari sesuatu bilang dulu sama Aku, ya, Mas," pesanku usai menyerahkan barang tersebut pada pemiliknya.
"Loh, kok ada di ruang kerja. Perasaan terakhir kali saya simpen ini di atas nakas."
Yeuu, Mas Akbar bukannya berterima kasih malah nanya-nanya. "Ya karena tadi pagi pas Aku lihat baterainya udah mau abis, makanya aku charger di sana. Lagian Mas tuh nggak naruh di atas nakas ya, tapi di kasur. Ketutup bantal malah, untung gak nyelip dan keburu aku temuin."
Pada akhirnya seluruh unek-unekku tersalurkan. Dan hal itu agaknya membuat dadaku terasa lebih lega.
Mas Akbar menyengir kuda, cengiran yang ingin sekali Aku hadiahi oleh pukulan. "Hehe, Maaf. Makasih, ya."
"Sama-sama," kataku sedikit ketus.
Deru napasku memberat usai melihat bantal, guling, serta seprai yang sudah berserakan di atas kasur. Belum lagi perintilan barang di laci yang sudah tak beraturan akibat kedua tangan Mas Akbar. Mana lacinya dibiarkan terbuka begitu saja.
"Sorry. Biar saya bantuin beresin."
Meski kebiasaan buruknya membuatku mengelus dada, namun, Mas Akbar tak segan meminta maaf dan langsung segera memperbaiki kesalahannya.
Kedua alisku menukik tajam saat melihat Mas Akbar merebahkan dirinya di kasur selepas membereskan isi laci yang ia berantakin tadi.
"Katanya mau meeting, kok malah rebahan?"
"Meetingnya besok, sih."
Ya terus ngapain riweuh nyari-nyari earbuds kayak tadi kalau ternyata meetingnya masih lama? Hadeuhh. Untung suami sendiri, kalau Andra pasti sudah habis kupukuli.
"Mas."
"Ada apa?"
"Bentar, deh."
Aku mengambil sebuah barang dari laci lemari, kemudian menyerahkan benda kecil berbentuk persegi panjang itu pada Mas Akbar dengan eskpresi campur aduk. Mas Akbar sempat menatapku dengan sorot tak percaya kemudian beringsut duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...