UW-50

3K 325 68
                                    

Selain cinta, hal apa yang melandasi sebuah hubungan? Tentu saja, kepercayaan. Pondasi dasar dari sebuah hubungan adalah rasa percaya satu sama lain. Dan rasa percaya itu didapatkan dari kejujuran. Bagaimana bisa sebuah hubungan berdiri kokoh apa bila pondasinya saja goyah.

Apa kiranya yang membuat Mas Akbar tidak berani jujur mengenai masa lalunya dengan Kak Riyana? Apakah ia hanya tidak ingin bernostalgia atau sengaja menyembunyikan itu dariku karena dia masih ingin mencari celah untuk perasaannya yang tertinggal?

Melihat dia begitu peduli dengan Kak Riyana membuatku berpikir ulang mengenai pernyataan cinta darinya yang ditujukan untukku. Harusnya Mas Akbar bisa jujur kalau memang hatinya sudah tidak terpaut pada perempuan itu.

Terlebih lagi, mengetahui kisah rumit Mas Akbar di masa silam dari orang lain sangat menyakiti hatiku. Andai ia jujur padaku lebih awal, rasanya mungkin nggak akan seperih ini. Dia seperti menghancurkan kepercayaan yang berusaha kubangun dalam waktu sekejap.

"Boleh nggak, sih, Aku cemburu?" Kami baru saja mengantarkan Bunda, Mbak Zahra serta Kak Husein ke bandara. Shafira juga ikut dibawa serta.

"Cemburu? Sama siapa?"

Aku berusaha menenangkan gemuruh dalam dadaku dan mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Semua pemikiranku itu masih bersifat asumsi karena sampai sekarang Aku masih belum tahu alasan sebenarnya dari perubahan sikap Mas Akbar.

"Belakangan ini Mas lebih peduli sama Kak Riyana. Entah cuma perasaan Aku doang atau mungkin begitu adanya. Tapi ... Aku gak suka!" Aku melepaskan tautan jemari kami secara perlahan kemudian tertawa hambar tepat di samping Mas Akbar.

Semula Mas Akbar mengerutkan dahinya sebelum kemudian ia terkekeh dan mengusap kepalaku. "Kamu, kok, lucu sih, Num!"

Apa katanya? Lucu? Apakah sarkasanku tadi kurang terdengar jelas di telinganya? Perlukah Aku berteriak di depannya atau mungkin sekalian mencak-mencak saja agar Aku bisa meluapkan segala keresahan dan gelisah yang kupendam selama beberapa hari ini?

"Zaki itu udah nggak punya siapa-siapa, saya hanya berusaha membantu merawat Zaki semampu saya. Kamu juga tau sendiri kalau Riyana lagi hamil sekarang. Saya agak khawatir aja sama dia."

Alasannya masih bisa diterima oleh akalku. Namun, tetap saja rasa cemburu dan asumsi jelek itu masih setia bercokol di kepalaku.

"Mas nggak mau jujur sama Aku?" tanyaku. Berharap dia akan menceritakan benang rumit yang pernah mengikat Mas Akbar, Kak Riyana serta Kak Zaki dalam satu waktu.

"Jujur soal apa?"

Aku memilih diam dan tak menggubris pertanyaannya.

"Oh iya saya mau ngasi tahu kamu kalau lusa saya mau ke Surabaya. Kamu mau ikut? Nggak lama, si, cuma tiga hari doang."

Aku mengangkat wajah, menatap lurus pada kedua maniknya yang menyipit akibat terpaan terik matahari.

"Mas sendiri aja," balasku agak cuek. Entahlah, tapi Aku ingin menjaga jarak dulu dengannya sekaligus me-refresh pikiran agar segala prasangka buruk itu menghilang dari benakku.

Aku meneruskan langkah yang sempat terhenti, disusul oleh Mas Akbar yang kemudian mensejajarkan langkah denganku.

"Kak Adam ngajak ketemu besok. Boleh Aku dateng?" Terakhir kali menyebut nama Kak Adam, Mas Akbar merasa cemburu dan tidak suka. Tapi kali ini ekspresi wajahnya biasa saja, hanya ada kerutan halus di dahinya selama beberapa detik sebelum dia tersenyum tipis.

Posisi kami sudah di dalam mobil dan masih berada di parkiran bandara. Mas Akbar sendiri rencananya mau pergi menemui teman-temannya dan Aku meminta dipulangkan lebih dulu. Tidak tertarik untuk bergabung bersama mereka.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang