UW-47

3.2K 285 38
                                    

Dering notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku. Aku mengernyitkan dahi ketika melihat jam dinding. Siapa kiranya orang yang mengirimiku pesan pada malam-malam begini? Saat menemukan pop up pesan di layar yang berasal dari Azizah, Aku segera masuk ke dalam roomchatnya. Ia mengirimiku sebuah foto dengan keterangan seperti ini:

Our new nephew. Baru lahir tadi siang.

Sebaris kalimat itu berhasil Aku baca bersamaan dengan foto kirimin Azizah yang sukses Aku unduh. Aku dibuat termangu beberapa saat ketika sosok bayi mungil yang tengah terpejam itu memenuhi layar ponselku. Dibanding Kak Adam, bayi yang belum kuketahui jenis kelaminnya itu lebih mirip dengan Ibunya. Katanya sih kalau wajah bayi mirip dengan Ibunya, berarti sang suami memiliki rasa cinta yang lebih besar dari istrinya.

"Mas."

Mas Akbar yang hendak merebahkan diri di kasur urung ketika Aku memanggilnya dengan antusias. Lelaki itu mengangkat satu alisnya tanda bertanya. Aku beringsut mendekatinya kemudian menunjukkan layar ponselku padanya.

"Bayi Humaira sama Kak Adam. Lucu banget, 'kan, ya?"

"Adam cuma nyumbang alis sama bibirnya doang, ya, kayaknya."

Aku mengangguk-angguk. Kemudian kembali menarik ponsel tersebut dan kini Aku duduk di sebelah Mas Akbar seraya terus memandangi foto bayi tersebut.

"Mana pipinya gembul gitu. Ada kali ni bayi tiga setengah kilo." Kalau Aku sedang berada di Jakarta, mungkin Aku akan segera menemui Humaira untuk menjenguknya.

Tetapi, saat fakta bahwa hubungan kami yang renggang melintas ke kepala Aku jadi berpikir ulang. Aku bahkan tidak tahu apa Humaira masih membenciku atau tidak. Ingin kembali Aku memperbaiki hubungan ini, tapi sikap Humaira yang menyebalkan membuatku malas seketika. Aku enggan kembali menjelaskan berulang kali hanya untuk meyakinkan Humaira bahwa Kak Adam sudah Aku anggap sebagai bagian dari masa lalu.

"Kenapa? Kamu pengen juga?"

"Mas pengen juga?" Bukannya menjawab Aku malah membalikan pertanyaan yang seketika membuat lelaki itu berdecak.

"Saya mah dari dulu juga udah pengen."

Aku berdecak. "Ih, maksud Aku Mas pengen cepet-cepet punya anak atau nggak?"

Aku mengubah posisi menjadi menghadapnya. Menyadari tatapanku yang berbeda, kedua alis Mas Akbar saling bertautan seolah-olah ia bertanya kenapa.

"Saya kembalikan lagi sama kamu. Karena yang akan mengandung dan melahirkan itu kamu. Saya cuma nyumbang benih doang."

Entah kenapa kalimat terakhir Mas Akbar mengundang tawaku. Lelaki itu bahkan sampai keheranan melihatku. Abisnya raut wajah Mas Akbar tampak sangat menggemaskan. Sebersit rasa bahagia itu muncul, lihatlah betapa dia sangat memuliakanku.

"Kalau Mas kepengen punya anak secepatnya, biar nanti kita ambil promil. Cuma ada beberapa hal yang pengen Aku sampaikan aja. Aku harap Mas gak salah paham."

"Kamu mau ngomong apa emang?"

Aku mengambil jeda lebih dulu. Menggeledah kosakata dalam kepala kemudian merancang kalimat agar apa yang akan aku sampaikan padanya tersampaikan dengan sederhana dan Mas Akbar bisa dengan mudah memahaminya.

"Mas udah siap jadi orang tua belum? Aku nggak meragukan, Mas. Aku tau Mas bakalan jadi sosok Ayah yang baik. Cuma Aku mau tau Mas kepengen punya anak itu karena keinginan Mas sendiri atau tuntutan dari orang lain. Aku nggak mau hanya gara-gara orang mulai nanyain 'kapan nikah', Mas jadi terburu-buru buat punya anak. "

Aku meraup seluruh oksigen, sejenak terpejam lalu kembali menatap Mas Akbar yang setia mendengarkan. Sorot mata pria itu teduh seperti biasa.

"Mas, seorang anak itu bukan indikasi dari kesuksesan pernikahan, bukan pula pencapaian sebuah pernikahan. Mereka anugerah dan titipan dari Allah. Ketika Aku sama Mas memutuskan untuk memiliki mereka, it means kita sudah siap menerima tanggung jawab besar buat merawat mereka, mendidik mereka, memberikan kehidupan yang terbaik buat mereka, serta menyayangi mereka dengan tulus. Kalau Mas siap dan mau menerima semua tanggung jawab itu, let's have a baby. Tapi kalau Mas cuma pengen punya anak karena tekanan eksternal, aku nggak mau, Mas. Apa lagi kalau sampai anak kita merasa menyesal karena telah dilahirkan padahal mereka nggak minta sama sekali buat ada di dunia ini."

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang