Aneh. Satu kata itu kusematkan pada diriku sendiri. Dengan mudahnya Aku dapat menemukan celah ketidaksempurnaan pada penampilanku, sementara Aku terlalu buta pada beragam kekurangan rohaniku.
Pagi tadi sehabis mencuci muka, sebuah jerawat tumbuh di dahiku. Lokasinya sangat strategis karena berada tepat di tengah-tengah antara kedua alisku. Aku terus menerus menggerutu pelan begitu melihat ukuran jerawat tersebut.
Kekesalanku kian memuncak saat obat totol jerawatku sudah habis. Harus kututupi dengan apa jerawat ini karena Aku sungguh malu untuk bertemu orang-orang. Mereka tentu akan langsung meng-highlight jerawatku.
"Kenapa munculnya harus di sana, sih?! Di pelipis 'kan bisa?!" Ocehanku masih terus keluar padahal hal itu hanyalah sia-sia belaka. Aku tahu betul bahwa jerawat ini tumbuh di luar kendaliku, dan mengoceh tidak jelas hanya untuk meluapkan kekesalanku tentu tidak berguna.
"Kenapa?"
Aku menoleh begitu menemukan Mas Akbar yang sudah berdiri di sampingku. "Nggak, cuma lagi kesel aja karena tiba-tiba ada jerawat yang numbuh di dahi Aku," kataku agak ketus. Suasana hatiku benar-benar hancur pagi tadi.
"Emang kenapa, sih, sini liat." Sekujur tubuhku nge-freeze beberapa saat kala Mas Akbar membalikkan badanku sebanyak sembilan puluh derajat hingga posisiku kini menghadapnya.
Aku kira Mas Akbar akan mengatakan kalimat-kalimat yang menenangkan, sayangnya lelaki itu malah tertawa cekikikan sambil menatapku dengan penuh ejekan.
"Mas." Aku merengek karena tingkahnya itu membuatku semakin tidak percaya diri untuk sekadar keluar kamar.
"Jerawatnya gede banget, Num. Jadi pengen saya pencet. Sini saya pencet biar cepet sembuh." Aku segera menghindar saat Mas Akbar berusaha meraih wajahku. Enak aja main pencet, ntar infeksi Aku juga yang repot.
"Nggak gitu caranya, Mas. Yang ada makin parah entar."
Raut wajah Mas Akbar berubah 180 derajat, ia tidak lagi menatapku dengan sorot mengejek apa lagi menertawakanku. Kali ini Mas Akbar mengukir seutas senyum yang tak dapat kutafsirkan maksudnya.
"Nah iya, itu kamu tau."
Aku melongo, beberapa kali mengerjap pelan seperti orang dungu. "Maksudnya?" tanyaku menuntut penjelasan.
"Kamu nggak suka ada jerawat di wajah kamu dan kamu pengen jerawat itu cepet sembuh, 'kan?"
Aku mengangguk.
"Kamu bisa pencet jerawat kamu biar jerawat itu cepetan ilang, tapi kamu juga tahu hal itu nggak benar dan hanya akan memperparah. Jadi kenapa kamu masih mengeluh di saat kamu udah tahu bahwa semuanya butuh waktu buat sembuh.'Kan tinggal dirawat doang."
Aku ikut tersenyum setelah paham maksud dari Mas Akbar. Kekesalan yang semula bercokol di dalam dada itu mendadak sirna dan berganti dengan rasa tenang berkatnya.
Mas Akbar benar-benar menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Bukan hanya sekadar memberi nafkah duniawi saja, tetapi, ia juga selalu menjadi pengingat bagiku.
"Makasih, Mas."
"Cuma tetep aja Aku malu ketemu sama orang-orang," lanjutku.
"Yaudah sih kepalanya tutupin aja pake kresek. Apa susahnya? Biar orang-orang nggak liat jerawat kamu, 'kan?"
Plak
Nggak ada hal lain yang dapat kulakukan selain memukul lengan lelaki itu. Saran macam apa itu?! Yang ada Aku malah ditertawakan oleh banyak orang.
"Ntar Aku nggak bisa liat dong, Mas."
"Gapapa, kali-kali kamu cosplay jadi orang buta biar bisa bersyukur karena udah dikasih kenikmatan buat melihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...