UW-21

4.2K 325 14
                                    

Dua tahun silam, saat beberapa dari temanku mulai menemukan pasangannya, menjalin hubungan spesial di luar pernikahan, memamerkan adegan-adegan romantis kepada khalayak ramai, rasa iri menyergapku.

Aku teramat paham kenapa rasa iri itu datang, bukan karena ingin ikut memenuhi halaman sosial media dengan adegan-adegan romantis tersebut, melainkan karena Aku sudah muak merasa kesepian, sendirian, dan hampa. Aku merasa butuh seseorang, setidaknya untuk menemaniku baik dalam suka maupun duka. Nyatanya melakukan segalanya sendirian membuatku merasa capek, karena untuk beristirahat sejenak pun Aku tidak punya tempat untuk pulang.

That's why tujuh hari ini Aku merasa penuh, meskipun Aku masih berada dalam fase adaptasi. Tapi aku tetap menikmatinya. Rasa sepi itu perlahan pudar karena kini salatku tidak sendirian lagi. Walau harus kuakui, berada satu ruangan dengannya sering kali membuatku jengkel dan merasa canggung di lain waktu.

"Besok, kamu mau pulangnya pagi-pagi atau agak siangan?" tanya Mas Akbar sesaat setelah melipat sajadahnya. Aku yang memang sudah sangat merindukan suasana rumah pun segera menjawab pagi hari.

"Yaudah, cepetan beres-beres dari sekarang biar paginya bisa langsung pulang," katanya yang kutanggapi dengan anggukan antusias.

Tujuh hari ini kulalui dengan waktu yang terasa lambat, mungkin karena Aku harus melaluinya dengan orang baru yang belum Aku kenal. Syukurnya tujuh hari ini tidak terlalu membosankan karena Mas Akbar sering mengajakku keluar. Padahal pada dasarnya Aku adalah orang yang lebih nyaman berada di rumah dari pada harus pergi ke tempat keramaian.

H-1 saat Aku dan keluarga Bang Faris perhi ke Vila ini, Aku hanya membawa satu koper karena sudah diberi tahu bahwa kami akan menginap selama satu minggu di sana. Awalnya Aku kira semua orang yang akan menginap di sini, ternyata Aku dibodohi karena ujung-ujungnya Aku ditinggal berduaan dengan Mas Akbar.

"Baju yang kotor pisahin aja, Num, biar besok bisa langsung dikirim ke laundry."

Tahu aja kalau Aku malas nyuci. Bukan apa-apa tapi jumlah baju kotor kami berdua lumayan cukup banyak karena selama seminggu ini Aku tidak mencuci sama sekali. Kalau nyuci baju sendiri mah Aku masih mampu, tapi cuciannya bertambah karena Aku sudah tidak sendirian lagi. Eh, besok-besok juga sepertinya Aku harus merasa terbiasa untuk mencuci pakaian dua kali lipat lebih banyak.

"Mas, keluar, kuy. Aku laper," ajakku setelah selesai membereskan barang-barang yang akan kubawa pulang besok.

"Males, ah. Kamu go-food aja biar simple."

Dih.

"Sebenernya aku cuma pengen jalan-jalan bentar keluar buat beli cemilan di angkringan depan. Temenin dong!" Aku sedikit memaksa pada lelaki yang kini menjatuhkan tubuhnya ke kasur.

Masih ingat perkataan Andra enam hari yang lalu? Iya, Aku memang suka memaksa Andra untuk mengantarkanku membeli jajanan saat malam-malam. Berhubung Andra sudah tak lagi bisa kuandalkan, ya, Mas Akbar mau tak mau harus jadi penggantinya.

Bukannya menjawab, Mas Akbar malah mengambil jam tangan pemberian Kak Riyana untuk mengamatinya beberapa saat sampai jam tangan tersebut kembali ia letakkan ke atas nakas. Dan ya, ternyata isi paperbag yang enam hari lalu Kak Riyana berikan itu merupakan jam tangan couple dari salah satu brand ternama. Desainnya yang sederhana membuatku langsung jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.

"Udah malem banget ini, lho. Angkringan mana yang masih buka jam segini?"

"Baru setengah sepuluh kali, Mas. Yakin deh masih pada buka."

"Udahlah kalau laper mending go-food aja. Saya udah ngantuk banget."

Hih! Dasar dedemit ngeselin. Lihatlah, Mas Akbar sudah meringkuk santai sembari memeluk guling di sisi sebelah kiri. Karena kesal, Aku pun merebut gulinh tersebut darinya sambil menggerutu pelan.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang