Bi Nina begitu terkejut saat tiba-tiba Aku dan Mas Akbar datang bertepatan dengan kumandang azan magrib. Walau begitu ia tetap menyambutku dengan hangat setelah sebelumnya memberondongku dengan beberapa pertanyaan, seperti 'Kok, udah balik?' yang kutanggapi dengan kalimat 'Soalnya Aku nggak bisa jauh-jauh dari Bibi' yang tentu saja membuat Bi Nina memutarkan bola mata malas karena menganggapku lebay.
Aku dan Mas Akbar sengaja tidak langsung pulang ke rumah Bunda sebab Aku meminta Mas Akbar untuk bermalam di sini sebagai kali terakhir, toh besok Aku akan diboyong ke rumahnya. Mengingat itu Aku jadi agak cemas, harus bersikap seperti apa Aku di sana agar Aku dapat memberikan kesan yang baik sebagai seorang menantu.
"Kalian kenapa nggak bilang kalau pulangnya mau dipercepat, kan ntar Bibi bisa siapin sesuatu dulu buat nyambut kalian."
Baru saja Aku duduk di sofa saat Bi Nina mulai mengoceh yang jatuhnya malah pada omelan.
"Namanya juga surprise, Bi!" Aku memeluk Bi Nina dari sampingnya, tubuhnya yang ringkih serta wangi khas yang menguar di tubuhnya sering kali membuatku dilanda rindu berat kala harus berjauhan dengannya. Sudah sejak Ibuku meninggal, Aku menganggap Bi Nina sebagai Ibu. Nggak heran kalau Aku dekat banget dengan adik iparnya almarhum Bapak.
"Abis nikah Teteh kek keliatan bersinar banget wajahnya. Dikasih apa emang sama Kak Akbar?"
"Apaan, sih, Ndra. Gak masuk akal tau?!" sanggahku. Bagiku ucapan Andra barusan tak ubahnya seperti candaan atau godaan. Kalaupun memang wajahku kelihatan seperti itu, mungkin itu efek dari rangkaian skincare yang gak pernah aku skip tiap pagi dan malam.
"Tapi Andra bener, loh, Neng. Wajah kamu keliatan bercahaya gitu."
Aku menatap Mang Azzam dengan ekspresi cengo, emang iya ya?
"Biasa namanya juga pengantin baru. Wajar kalau wajahnya berseri-seri gitu."
Aku menyenggol bahu Bi Nina. "Udah tiga minggu loh, Bi. Bukan pengantin baru lagi Aku," kataku dengan nada tak suka. Agak risih ya mendengar dua kata tersebut.
"Tiga minggu itu masih terbilang baru, Neng. Ntar kalau udah tiga bulan, baru deh pengantin basi." Ucapan Bi Nina mengundang gelak dari kami-Aku, Andra, dan Mang Azzam.
Bi Nina celingukan, matanya menyapu seluruh sudut sebelum ia berbisik padaku dengan suara teramat pelan hingga nyaris tak dapat kudengar,"Oh iya, gimana Akbar? Maksud Bibi, gimana perlakuan dia ke kamu?"
"Dia nggak terlalu buruk juga, Bi. Kita lumayan match lah," jawabku.
Sebetulnya ada banyak hal yang ingin kuberitahukan pada Bi Nina, sayangnya hal tersebut mungkin Akan terdengar tidak enak di gendang telinganya.
Sejauh ini, Mas Akbar adalah orang yang tidak bisa ditebak. Saking tidak bisa ditebaknya ia dapat menjungkir balikan perasaanku hanya dalam hitungan detik. Dari yang awalnya senang menjadi sedih, atau sebaliknya. Sikap dan sifatnya juga seperti roller coaster, kadang manja, kadang cuek, kadang juga sedikit humoris meski gurauannya sedikit garing. Namun, di beberapa kesempatan Aku dapat melihat sosoknya yang lebih dewasa dan lebih bijak. Hal itu jelas mengimbangi perangaiku yang kadang suka bertindak seperti bocah sd.
Tensi darahku sering dibuat naik oleh tingkah atau ucapannya yang sepedas cabe kriting, tetapi, beberapa saat kemudian hatiku bisa dibuat berbunga-bunga olehnya. Intinya, Mas Akbar ini varietas manusia terlangka yang baru kutemui. Sanggup gak ya Aku menghabiskan sisa umur hidupku bersamanya?
Kalau bisa dan boleh meminta, Aku hanya ingin mendapatkan perlakuan manis darinya. Nggak perlu manis lebay kayak minuman bergula tinggi, cukup membuatku tersipu bahagia saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...