Deringan alarm membuatku terusik. Saat itu juga mimpiku buyar. Perlahan Aku membuka kelopak mata. Hal pertama yang Aku amati setelah pandanganku jelas adalah jam dinding. Pukul dua lebih lima belas menit.
Memang tak setiap hari Aku bangun di waktu-waktu ini untuk melaksanakan salat tahajjud. Tapi, sudah jadi kebiasaanku memasang alarm pada jam-jam ini. Setidaknya Aku sudah berniat dan berusaha bangun, entah Aku akan kembali terlelap lagi dan lupa akan niat awalku untuk menunaikan qiyamul lail, itu tidak jadi masalahku.
Aku merubah posisi menjadi duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Mataku menyapu ke sekitar, dan pandanganku tertumpu pada Mas Akbar yang tengah melaksanakan salat tahajud. Sudut bibirku tertarik ke samping, pria itu mungkin menyebalkan, tetapi, setidaknya dia taat pada Tuhannya.
Ingatanku me-recall pada malam tadi. Boro-boro dapat membuka kado, ternyata membereskan baju serta barang-barang seserahan saja sampai menghabiskan waktu berjam-jam dan kami baru selesai pada pukul sepuluh. Tenagaku sudah terkuras habis hingga kado-kado tersebut hanya Aku pindahkan ke sudut kamar lalu jatuh tertidur saking lelahnya, begitupun dengan Mas Akbar.
Melihatnya bangun di jam segini lalu menyempatkan diri untuk melaksanakan salat sunah setelah malam tadi Aku repotkan cukup membuat hatiku hangat. Kabar baiknya kini akan ada yang menemaniku atau membangungkanku untuk salat malam-hal yang selalu aku impi-impikan sejak remaja.
Aku mengambil segelas air yang selalu kusediakan di atas nakas karena tenggorokanku terasa kering kerontang. Setelahnya Aku mengambil pisau cutter dari laci nakas lalu duduk tepat di gunungan kado.
Perlahan Aku membuka satu per satu kado yang dibungkus dengan berbagai macam warna serta motif yang berbeda. Beberapa isinya merupakan sandang-dari baju tidur hingga peralatan dapur serta rangkaian body care. Beberapa lainnya kudapati berisi pajangan di rumah.
Mungkin karena teman-teman Mas Akbar bukan orang sembarangan, Aku banyak mendapati kado berisi barang-barang mewah maupun barang-barang berharga dan langka. Contohnya seperti emas batangan seberat 10 gram beserta sertifikatnya atau tas dari brand ternama yang saat Aku cek harganya seketika membuat mulutku menganga.
Namun, ada satu kado yang sangat mengambil perhatianku. Bungkusnya sudah kubuka, tetapi kotaknya belum kubuka sehingga Aku sendiri masih penasaran pada isinya. Fokusku juga masih tertumpu pada greeting card yang berisi kalimat berikut.
Selamat menempuh hidup baru.
Akhirnya si paling bijak nikah juga dan nggak jadi menjomblo seumur hidup. Padahal kalau sampai umur 30 belum nikah tadinya mau gue jodohin sama satwa ragunan biar nggak kesepian. Eh, ternyata diam-diam udah punya pasangan.
Semoga kado ini bisa membantu kalian dalam berkembang biak.
Paragraf terakhirnya terdengar sangat mencurigakan, itulah kenapa Aku ragu membukanya tapi di sisi lain Aku sangat penasaran sekali.
"Kado dari siapa itu?"
Tiba-tiba Mas Akbar sudah duduk di sebelahku, aku bahkan tidak sadar lelaki itu telah menyelesaikan salatnya saking khusyuknya Aku membuka kado satu per satu.
"Gatau, tapi dari kata-katanya mungkin ini dari sahabat Mas yang waktu itu, loh." Sahabat Mas Akbar yang ku maksud adalah Kak Rafa, Kak Galih, dan Kak Restu. Siapa lagi teman-teman Mas Akbar yang bisa berbicara se'sopan' dan se santai mereka.
"Biar saya bu-"
Aku merebut kotak berwarna merah menyala itu sebelum Mas Akbar mengambil dan membukanya lebih dulu.
Lelaki itu berdecak pelan. "Dih, padahal kadonya milik berdua."
"Aku juga nggak bilang ini punyaku," sanggahku menepis tuduhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...