UW-26

3.4K 295 18
                                    

Beberapa pesan dan panggilan dari Azizah memberondong ponselku sejak sepuluh menit yang lalu. Pertanyaannya hanya seputar kapan kami akan sampai di restoran. Meski kesal Aku tetap membalasnya dengan lembut.

"Mas bisa cepetan gak? Ini Azizah dari tadi nanyain mulu kapan kita sampainya," desakku pada Mas Akbar. Lelaki itu ngeyel dengan keputusannya untuk menaiki motor tua padahal tadi Bang Faris sudah menawarinya mobil.

Katanya sih biar kami kelihatan romantis oleh kedua sahabatku. "Cerewet amat sih kamu!" sarkasnya.

"Ya habisnya kita udah ngaret tiga menit dari janjian," debatku.

Mungkin karena kesal dengan ocehanku pria itu menaikkan kecepatan hingga batas maximum. Aku saja sampai terperanjat kaget dibuatnya. Jika saja Aku tak memegang pundaknya mungkin Aku sudah terpelanting ke jalan.

"Mas ini jalan raya bukan sirkuit balapan," kataku berteriak. Saking takutnya Aku sampai menggigit bibir bawah.

Tak menghiraukan perkataanku ia malah kembali menaikkan laju motornya. Refleks saja Aku mencubit pinggang lelaki itu. Motor kami sempat bergoyang dan hendak jatuh jika saja dia tidak memperhtahankan keseimbangan.

Sekali lagi pria itu menaikkan laju motornya yang membuatku sontak memeluknya erat. "Mas, Aku gak mau mati konyol!" teriakku menaruh kepala di punggungnya.

Aku terus memeluknya erat sampai kami tiba di restoran. Segera aku turun dari motor tersebut dan melayangkan tatapan sengit pada Mas Akbar. Aku semakin dibuat sebal ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi. Langsung saja Aku berlalu pergi dari pria tersebut.

Kudengar derap langkahnya mengejar mengikutiku, kesal Aku pun kembali memacu langkah lebih cepat lagi. Tapi tiba-tiba lelaki itu mencekal tanganku ketika kami sudah berada di ambang pintu masuk restoran.

"Apa?" tanyaku ketus.

Kekehan tawa yang keluar dari mulutnya membuatku semakin naik darah. "Selain menyebalkan ternyata kamu juga lucu," ujarnya diiringi sunggingan senyum.

Keningku berkerut. "Maksudnya?"

"Kamu yakin mau pake helm ke restoran."

Mataku membelalak kaget, sontak saja Aku meraba kepalaku yang ternyata memang masih mengenakan helm. Sejenak mataku menatap kearah sekeliling, beberapa orang disana menatapku seraya menahan tawa termasuk kedua sahabatku dan suaminya.

Cepat-cepat Aku lepaskan helm tersebut kemudian memberikannya pada Mas Akbar. "Kenapa gak ngasi tahu dari awal sih, Mas!"

"Itu kaffarah karena udah ninggalin suamimu di parkiran," jawabnya yang membuatku melangitkan beribu istigfar. Kupandangai punggung lelaki itu yang menjauh ke arah parkiran.

Seraya membenarkan hijab dan mencoba menetralisir rasa malu yang membuncah Aku memutar badan dan kembali melangkah pada meja bundar berukuran besar dengan enam kursi yang mengelilinginya. Disana kedua sahabatku sudah duduk manis berdampingan dengan suaminya masing-masing.

"Berantem nih ya?" sahut Humaira terkesan menyindir setelah Aku duduk di kursi sebelah Kak Hanif.

Seharusnya Aku mempertontonkan keharmonisan rumah tanggaku pada Humaira bukannya malah pertengkaran.

"Pertengkaran kecil, biasa kok," sahut Mas Akbar dari belakang. Tak lama ia menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelahku.

"Jangan menganggap remeh hal-hal yang kecil, biasanya pertengkaran besar juga diawali dari pertengkaran kecil," ucap Humaira tanpa nada hangatnya.

Aku dan Mas Akbar saling pandang beberapa detik.

"Apasih Um!" sahut Azizah.

"Cuma nasihat kecil ko, Zi," timpal Humaira.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang