UW-22

4.2K 282 14
                                    

Menjelang ashar Aku dan Mas Akbar memutuskan untuk pulang ke rumah Bang Faris. Padahal sebelumnya Mas Akbar menawariku untuk tetap di sini dan memperpanjang masa bulan madu kami, katanya--bulan madu apanya?! Hahahaha. Tetapi, dengan tegas Aku menolak dan memilih pulang karena perutku berangsur membaik sejak zuhur tadi. Selain itu Aku sudah merindukan Bang Faris dan Mbak Dini, di Vila ini Aku merasa terkurung sekali padahal kami berdua sering keluar jalan-jalan.

"Kamu masuk duluan aja, kopernya entar saya bawa," ujar Mas Akbar sesampainya kami di depan rumah Bang Faris.

Aku hanya memberi anggukan pelan sebelum keluar dari mobil sembari menjinjing sling bag dan tas kecil milik Mas Akbar. Ia juga sempat menanyakan apakah Aku kuat berjalan ke dalam atau tidak. Sengaja Aku menjawab iya karena tak ingin terlalu banyak merepotkan Mas Akbar. Membawa dua koper berisi pakaian penuh tentu akan membebani dia, walau sejujurnya tubuhku cukup lemas.

Tiba di dalam rumah, Aku hanya mendapati Mbak Dini. Wajar saja, Bang Faris baru akan pulang pada jam lima. Namanya juga budak korporat, pulang dari kantor jam lima, tiba di rumah jam setengah enam. Kalau kejebak macet mentok-mentok baru tiba di rumah saat Azan Magrib berkumandang. Atau kadang isya baru sampai ke rumah. Aku agak kasihan dengan Mbak Dini, ia sendirian di rumah. Mana lagi hamil trimester kedua lagi. Untung Mbak Dini memiliki usaha kecil-kecilan, yakni jastip barang dari korea. Kebetulan ia memiliki teman di negara tersebut, jadi ia tidak perlu pergi ke sana dan cukup berkabar dengan teman-temannya. Dulu, saat Awal menikah dengan Bang Faris dan Aku masih menjadi pelajar SMA Aku menjadi salah satu reseller Mbak Dini. Untungnya lumayan, soalnya teman-temanku mayoritas kpopers. Agak aneh karena Mbak Dini bukan orang

"Lemes banget kamu keliatannya. Sakit atau tepar nih?"

Aku mengerucutkan bibir, kayaknya orang-orang senang sekali menggoda pengantin baru. "Mbak apaan, sih. Aku lagi kram perut, maklum hari pertama haid."

"Mbak kira kenapa. Seru gak bulan madunya?" Mbak Dini duduk di sebelahku sembari mengusap perutnya yang terlihat kian membesar tiap harinya sejak dua bulan yang lalu.

"Not bad. Vilanya nyaman," jawabku seadanya, nggak tahu juga harus bilang apa. Soalnya seminggu kami di sana hanya diwarnai oleh perdebatan kecil yang membuatku lumayan mengetahui sifat-sifat Mas Akbar.

"Lah, yang di rate malah Vilanya."

Aku mengerutkan dahi. "Lah, trus harus rate apanya?" tanyaku heran sekaligus pura-pura bodoh padahal Aku sangat paham maksud dari pertanyaan Mbak Dini. Aku sudah cukup dewasa untuk mengerti segalanya. Lagi pula tak mungkin Aku membeberkan detail apa yang kami lakukan seminggu ke belakang. Dan sepertinya tak perlu kuceritakan karena tidak ada hal menarik yang terjadi.

Mbak Dini membuang napas kasar, raut kesal tergambar samar di wajahnya. "Dahlah, lupain aja."

Aku terkekeh pelan mendengarnya. Lima detik kemudian Mas Akbar masuk ke dalam rumah sembari menggeret dua koper yang masing-masing berukuran besar. Hebatnya koper yang mungkin memiliki berat puluhan kilogram itu terlihat ringan saat Mas Akbar menggeretnya. Otot bisep dan trisepnya bahkan hingga muncul dan terlihat sangat jelas dari kaus lengannya.

"Lho, kamu tega banget biarin suami kamu bawa koper. Dua lagi."

Aku sudah membuka mulut saat Mas Akbar berucap mendahuluiku. "Saya yang nawarin, Mbak. Lagian Hanum lagi agak kurang sehat, dan lagi pula saya mampu bawanya."

Skak mat. Mbak Dini langsung terdiam seribu bahasa saat Mas Akbar membelaku. Kali ini Aku harus mengucap terima kasih padanya. Karena lelaki itu berhasil mempertahankan image-ku.

Setelah itu Mas Akbar izin ke kamar lebih dulu untuk menyimpan koper kami. Mendengar jawaban Mas Akbar, Mbak Dini seketika langsung menyorakiku pelan. Calon Ibu muda ini tak henti-hentinya memuji Mas Akbar.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang