Tepat pada pukul sembilan acara itu selesai. Kedua sahabatku pulang lebih dulu, disusul Aku dan Mas Akbar kemudian.
Dua puluh menit pertama kami menikmati perjalanan dengan ria. Angin yang berembus kencang dan merasuk ke tulang, serta suasana ibu kota yang terasa lebih mendamaikan membuat perjalanan ini sungguh menyenangkan. Apa lagi mengingat kekalahan Humaira tadi. Rasanya Aku ingin menyeleberasikan kemenangan ini.
Namun, sayang kejadian itu tak bertahan lama. Hal yang Aku khawatirkan terjadi, motor tua milik Bang Faris itu mendadak ngadat di jalan.
Dan beginilah akhirnya, kami berdua terpaksa jalan kaki dengan Mas Akbar yang mendorong motor. Beberapa kali Aku mengembuskan napas berat ketika menatap aspal. Rumahku berkisar satu setengah kilometer lagi dari sini.
"Dasar ngeye! Udah dibilangin juga motornya rusak, tetep aja keras kepala." Aku menggerutu pelan di sepanjang jalan. Aku yakin lirihan pelan itu tertangkap oleh telinga Mas Akbar. Andai saja Mas Akbar memilih naik mobil, mungkin sekarang ini Aku sudah rebahan di kasur.
Beberapa kali Aku menendang kerikil-kerikil kecil yang bertebaran di aspal, sekalian menumpahkan kekesalan. Aku mendongak lelah, meniup keatas agar kerudungku dapat kembali tegak.
"Kerudungnya bisa gak sih dibenerin? Itu rambutmu pada keluar," komentar Mas Akbar yang tak kugubris.
Bukannya memasukkan beberapa helaian rambut yang keluar, Aku malah sengaja mengeluarkan rambutku saking kesalnya.
Pria itu nampak memarkirkan motor lalu berjalan ke arahku, lebih tepatnya ia berdiri di depanku. Aku menatapnya dengan ekspresi tertekuk.
Perlahan ia mengangkat kedua tangannya dan membenarkan kerudungku. "Kalau rambut keluar itu ya dimasukin bukan malah dikeluarin, kamu mau nyeret saya ke neraka?" tanyanya sarkas.
Aku membuang muka sebal ketika ia masih tengah membenarkan kerudungku. "Ini udah malem Mas gak ada orang disini," kataku membela meski Aku tahu perkataanku itu salah besar.
"Kenapa memangnya kalau malem? Allah gak pernah tidur, kok." Perkataannya menyentil hatiku.
"Lagian ya saya rugi dong kalau kayak gini caranya," lanjutnya membuatku heran.
"Kok rugi?" tanyaku tak mengerti maksudnya.
Setelah membenarkan kerudungku ia kembali mendorong motor beat tua itu. "Ya rugi lah. Kamu itu istri saya, auratmu itu hanya saya yang boleh liat. Saya udah susah-susah kasih kamu mahar berlian eh orang lain bisa liat auratmu gratis."
Jleb
Astagfirullah! Sabar Num! Virus ngeselinnya tiap hari makin meningkat saja perasaan.
Aku menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisku dengan saksama. Lalu kembali teringat pada perkataannya waktu itu yang mengatakan bahwa cincin ini merupakan cincin warisan dari keluarganya. "Mahar pake cincin pemberian aja bangga. Gak modal amat!" sindirku dengan suara yang lantang.
Pria itu berdehem. "Bersyukur itu gratis," ucapnya yang kubalas delikan.
Aku memeluk diri sendiri ketika hawa dingin berembus kencang. Selain menyebalkan pria iti juga acuh, tingkat kepeduliannya rendah sekali. Seperti sekarang ini melihat istrinya yang kedinginan saja lelaki itu tak berniat sama sekali melepas jaketnya dan diberikan kepadaku.
Huh!
Aku mendongak keatas ketika setetes air jatuh tepat di kepalaku. Detik berikutnya bersamaan dengan angin yang berembus kencang rintik hujan itu berubah menjadi hujan deras dalam sekejap.
Saat itu Aku langsung lari dan berteduh ke halte yang kebetulan berada tak jauh dari depanku. Begitupula dengan Mas Akbar, yang kini tengah mengusap bajunya yang agak basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...