UW-1

13.5K 781 15
                                    

Stop insecure dan mulai untuk bersyukur.

***

"Saya terima nikahnya Humaira Farzana Binti Farhan Maulana dengan maskawin tersebut tunai."

"Sah?"

"Sah!"

Riuh tepukan tangan menggema memenuhi masjid. Sorak sorai bahagia turut mengiringi. Senyuman yang tak lekang dari wajah semua orang juga turut menghiasi.

Seharusnya Aku juga turut bahagia, apa lagi yang ini pernikahan sahabatku dengan orang yang sangat ia cintai. Lalu, kenapa Aku duduk disini, di pelataran masjid sendirian, sementara semua orang berada di dalam masjid. Lalu kenapa Aku melamun, menikmati setiap denyutan nyeri yang menjalari setiap inci dari tubuh? Parahnya, Aku pun tak paham apa penyebab denyutan nyeri itu hadir menyapa jiwaku.

Aku yang masih terseret pada lamunan mendadak gelagapan, ketika pasangan pengantin baru itu diarak ke pelaminan yang hanya berkisar sepuluh meter dari sini.

"Aku bahagia," gumamku tersenyum tipis seraya bangkit lalu menerobos orang-orang agar Aku bisa menyaingi langkah sahabatku yang telah berstatus sebagai istri.

"Acieee, yang nikah sama dosen sendiri," bisikku menggoda.

Klise, pernikahan sahabatku itu bak cerita wattpad yang menjadi kenyataan. Bagaimana tidak, Humaira Farzana, yang menyandang mahasiswa semester empat di universitas ternama Jakarta dinikahi oleh katingnya sendiri. Mereka dipertemukan hanya beberapa kali dalam seminggu, lalu ditakdirkan Allah untuk bersatu sampai selamanya. Kisah cinta yang apik sekali.

Dan aku? Boro-boro menikah, melihat gerombolan lelaki di jalan yang hendak aku lalui saja Aku akan memilih memutar balik. Lantas jika Aku terus menghindari kaum Adam, kapan Aku menemukan belahan jiwa yang telah Allah takdirkan untukku saat Aku berusia 40 hari dalam kandungan Ibu.

Astagfirullah, pembahasanku terlau mendalam sepertinya. Padahal usiaku saja baru genap dua puluh tahun. Kulihat Humaira tersenyum kaku, mendengar bisikanku tubuhnya juga sedikit merespon geli.

"Uma, titip keponakan buatku," candaku. Namanya Humaira dan Aku malah memanggilnya Uma, kasihan sekali orang tuanya yang sudah susah-susah mencarikan nama bagus untuk dia tapi Aku dan sahabatku yang satunya malah menyebutnya Uma.

"Nunu ih geli tahu!!"

Aku merasa terdzolimi dengan panggilannya itu, hei namaku Hanum Wardani. Bukan Nunu! Wajahku sontak merengutkesal, lamgkahku membelok dan terseret ke kursi para tamu. Disana kulihat Zizi-Azizah Shakila, sahabatku yang satunya lagi-tengah duduk seraya mengelus peeut buncitnya. Memang Aku sendirian yang memutuskan untuk menjomblo, sementara kedua sahabatku memilih menikah muda dan mendahuluiku yang lebih tua dari mereka.

Terkadang, ketika Aku berdekatan dengan mereka, rasa insecure merayapi tubuhku. Bagaimana tidak, Aku yang memiliki tinggi 160 cm berdiri di tengah-tengah mereka yang memiliki tinggai 165 cm. Akulah yang paling tua, tapi Akulah yang plaing pendek diantara mereka. Walaupun begitu, Aku harus tetap bersyukur atas apa yang diberikan oleh-Nya padaku. Karena dengan bersyukur Aku akan bahagia dan lebih menghargai diriku sendiei. So, kurangi insecure dan mulai bersyukur, itulah kuncinya kebahagiaan setiap insan.

"Misuanya lagi kemana sih Zizi?" tanyaku setelah duduk di dekatnya.

Dia menoleh sekilas. "Lagi bawain makanan, hehe."

"Asyikk banget ya jadi kamu Zi, mau apa-apa tinggal panggil suami. Itu suami atau Driver Go-Food?" sindirku yang melahirkan tawa dari bibir ranumnya.

"Makanya Nikah, Nunu zheyeng," katanya.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang