UW-39

3.2K 311 37
                                    

Seminggu sudah berlalu sejak kabar duka di subuh hari itu. Acara tahlilan juga sudah selesai malam tadi. Rasa sepi dan kehilangan itu masih menyergap masing-masing dari kami, kendati demikian kami sudah berusaha mengikhlaskan.

Suasana rumah ini juga mulai ceria kembali, ditambah mulut Shafira yang cerewetnya keterlaluan. Sejenak kami dapat melupakan rasa sakit dari kehilangan sosok yang teramat kami sayangi. Walau begitu kami tetap menjalani hari seperti biasa, Bunda juga sudah membuka diri seperti semula dan tidak lagi menghabiskan banyak waktunya untuk berdiam di dalam kamar.

Binar di mata Mas Akbar juga mulai kembali bersinar. Aku hanya sesekali menemukannya melamun atau menatap fotonya dengan Abah. Dan Aku tak pernah sekalipun menegurnya. Aku tahu Mas Akbar membutuhkan hal itu, asal ia tidak berlarut-larut dalam kesedihannya Aku akan merasa baik-baik saja.

"Makanan kesukaan Bunda apa, Mas?" Selama Bunda mengurung diri di kamar, Akulah yang selalu memasak menggantikan Bunda. Sejak Aku masuk ke dalam rumah ini Aku juga sudah terbiasa membantu Bunda memasak dan pernah sekali menyuruh beliau untuk duduk saja dan melimpahkan urusan memasak kepadaku karena tak tega melihatnya harus berjibaku dengan peralatan dapur. Bunda menolak waktu itu, Bunda bilang sih dia sangat menyukai kegiatan memasak. Dan sejak saat itulah kami saling berbagi resep makanan.

Mbak Zahra sendiri setahu Aku jarang memasak sebab ia dan keluarga kecilnya jarang berada di rumah. Mbak Zahra hanya akan memasak jika dia berada di rumah. Aku pernah sekali mencoba masakan Mbak Zahra dan rasanya sangat enak, hal itu membuatku insecure karena keahlian memasakku tidak sehebat dirinya.

"Masakan Mbak Zahra enak banget, ya, Mas. Aku jadi insecure banget." Aku nggak berharap apa-apa. Hanya ingin mengeluh dan mengungkapnnya pada Mas Akbar. Sekaligus mungkin nanti meminta sarannya.

"Emang memasak tugas seorang istri?" Jelas Aku kaget dengan jawabannya. Awalnya Aku kurang paham, tetapi Mas Akbar langsung melanjutkan ucapannya.

"Setahu saya, seluruh tugas domestik itu kewajiban seorang suami. Kamu nggak perlu insecure kalo masakan kamu kalah enak sama masakan Mbak Zahra, karena justru saya harusnya berterima kasih sama kamu karena kamu mau melakukan hal itu. Bahkan tanpa saya minta. Kalo kamu mau, mungkin kamu bisa menyuruh saya buat masak."

Kala itu Aku benar-benar tergugu mendengar khutbah dadakan dari Mas Akbar. Merasa malu juga karena udah ngeluh, padahal Mas Akbar fine-fine aja tuh. Hal ini juga yang membuatku semakin jatuh padanya. Cara dia menghargai dan menghormatiku, kemudian cara dia memperlakukanku sebagai seorang istri. Meski sikapnya sering kali membuatku jengkel, tapi dia juga bisa bersikap semanis itu.

"Bunda itu bukan tipekal orang yang heboh soal masakan dan nggak punya makanan favorit yang spesifik. Cuma ... Bunda suka banget sama Nasi TO, biasanya kalau Bunda mau saya suka beliin atau Bunda buat sendiri."

Nasi TO? "Nasi TO? Teknik Otomotif atau apaan?"

Mas Akbar tergelak, tawanya bahkan terdengar lumayan keras. Sementara Aku sendiri hanya memasang tampang cengo karena ini pertama kalinya Aku mendengar makanan tersebut.

"Nasi Tutug Oncom. Kamu nggak pernah nyoba 'kan, ya?"

"Dengernya aja baru sekarang, kapan nyobanya." Dari namanya Aku bisa menduga bahwa masakan tersebut merupakan salah satu masakan sunda.

"Yaudah biar saya masakin. Belum ada yang masak juga 'kan buat makan siang?"

Hah? Seriusan? Emang Mas Akbar bisa masak? Namun, bila dilihat dari cara ia memandang pernikahan dan pekerjaan rumah tangga, Mas Akbar sepertinya bisa memasak. Soalnya dia sering kali membantuku atau bahkan mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Dan jangan lupakan bahwa Mas Akbar merupakan seorang lulusan pesantren, dia juga hidup sendiri di luar kota untuk mengembangkan bisnisnya.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang