UW-57

5.2K 466 48
                                    

Selesai makan, Aku langsung mengajak Mas Akbar ke kamar agar kami dapat berbicara empat mata, dan tentu tanpa didengr oleh orang lain. Namun, Aku baru menyadari sesuatu bahwa sejak Aku tiba ke rumah Bang Faris dan Mbak Dini tidak ada.

Ke mana mereka pergi? Sebelum berangkat ke rumah Humaira pasangan itu masih ada di rumah ini.

"Bang Faris dan Mbak Dini...."

"Mereka lagi pergi stay cation. Baru berangkat sehabis magrib tadi. Katanya sih mau ngabisin waktu berdua sebelum baby-nya launcing." Aku tersenyum tipis mendengarnya.

Aku nggak yakin sama alasan mereka berdua. Alih-alih stay cation, mungkin Bang Faris dan Mbak Dini hanya ingin memberiku ruang bersama Mas Akbar. Mengingat keduanya mengetahui secara detail masalah yang kuhadapi. Lagi pula, minggu lalu Bang Faris dan Mbak Dini sudah stay cation.

Beberapa menit pertama hening memerangkap kami berdua, rasa canggung juga menyelimutiku. Kami seperti dua orang asing yang terjebak dalam sebuah ruangan. Suasana ini mengingatkanku kembali pada malam di mana kami pertama kali berbagi ranjang.

Baik Aku dan Mas Akbar tidak ada yang membuka suara, sepertinya kami terlampau tenggelam dalam riuhnya isi kepala. Aku sendiri tengah memikirkan rangkaian kalimat sebagai permohonan maaf.

"Mas." Dari semua kata yang telah kusiapkan, hanya itu yang berhasil keluar dari bibirku.

Pria itu berderap menghampiriku lalu duduk tepat di hadapanku. Aku sempat mengalihkan pandangan karena bertatapan dengannya malah makin membuatku gugup.

Rasa hangat menjalar ke tiap jengkal tubuhku kala Mas Akbar menarik kedua tanganku untuk ia genggam.

"Saya minta maaf karena udah bikin kamu kecewa. Saya mengakui kalau saya salah dalam bertindak. Saya nggak tahu harus melakukan apa lagi biar kamu bisa percaya sama saya. Dan kalaupun kamu membutuhkan waktu untuk kembali percaya sama saya, just do it. I'll wait for that, asal jangan sampai kamu menyerah sama saya."

"Mungkin ini kedengeran egois, tapi saya nggak mau kehilangan kamu. Saya sayang sama kamu."

Tangisku pecah dan baru mereda setelah sepuluh menit lamanya. Rasa haru, kesal, sesal, dan merasa bersalah itu kian memenuhi hatiku.

"Maaf."

Aku menghela napas panjang lalu mengangkat kepala, kedua mata kami langsung berada dalam satu garis yang sama.

"Maaf karena Aku udah berprasangka buruk sama Mas. Maaf karena Aku udah buat Mas kesel. Maaf juga karena Aku udah meragukan Mas. Aku akan berusaha buat nggak mengulanginya lagi. Tolong maafin ya. Jangan tinggalin Aku juga, Aku nggak akan pernah bisa nemuin lelaki lain sebaik Mas. Aku ... nggak mau kehilangan kamu."

Kini segala rasa yang menghimpit organ coklat itu sudah lenyap setelah Aku berhasil mengungkapkan permintaan maafku padanya.

Di mana akan kutemukan lelak sebaik dia di dunia ini? Di mana Akan kutemukan pria yang mampu memghadapiku sesabar dirinya? Di mana pula akan kutemukan lelaki lain yang sanggup memahamiku sebaik dia? Serta di mana ku bisa menemukan kaum adam yang sangat menghormati dan memuliakan istrinya seperti dia?

Semisal Aku menemukan yang lain pun. Aku hanya tetap menginginkan Mas Akbar, lelaki yang menikahiku karena desakan keluarganya tapi mau menjalani pernikahan ini dengan ikhlas.

Mas Akbar memangku wajahku dengan tangannya, lalu jari-jarinya menghapus linangan air mata yang menganak sungai di pipiku.

"It's okay, saya udah maafin kamu, kok. Saya nggak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Maaf karena saya terlalu gengsi untuk mengakui kalau kehadiran kamu itu berharga dan penting bagi saya. You make my day feel better since you came into my life, Num. I love you."

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang