23*. Truth

1.4K 81 8
                                    

"Haechann, gua minta maaf."

Suara Mark dari luar kamarnya terdengar, membuat Haechan menghela napas lelah sembari menangis.

"Gua bisa dapet apa dari lu yang suka bohong??" Tanya Haechan masih tetap di atas kasurnya tanpa niat untuk menghampiri pintunya.

"Gua minta maaf, gua akui gua ngerangkul Arin kemaren, tapi gua ga ada niat apa apa Chan."

Mark terdiam tidak dapat mendengar respon dari Haechan, hanya ada suara sesegukkan samar yang membuatnya kebingungan juga takut.

"Chan, buka pintunya." Pinta Mark dengan lembut.

Haechan masih terdiam sembari menenggelamkan wajahnya di bantal, ia paling tidak suka di bohongi, itu membuatnya merasa bodoh. Cukup ayahnya saja yang membohonginya selama ini.

"Chan, please, jangan gini dong. Gua minta maaf, gua nyesel gak jujur di awal, gua janji gak bakal ngulangin lagi, kasih gua kesempatan sekali lagi buat hubungan kita."

Mark pasrah, tidak ada sautan dari Haechan membuatnya menundukkan wajahnya lemas.

"Kasih gua kesempatan, please." Bisik Mark putus asa, matanya hanya bisa ia fokuskan pasa sepasang sepatu yang ia pakai.

"Buktiin."

Suara Haechan yang tidak lagi samar itu, membuat Mark mengangkat wajahnya dan menatap ke arah depannya dimana Haechan kini sudah membuka pintunya. Wajah berair itu menbuat Mark memajukan langkahnya berusaha untuk memeluk Haechan, namun Haechan memundurkan langkahnya tanda menolak.

"Buktiin kalo lu emang sayang sama gua, dan berjuang buat gua."

"I-i will try, i will do the best for you."

"Do it, even if you die for me."

Mark menatap Haechan terkejut, sementara Haechan menatapnya datar dengan air mata yang masih terus mengalir.

"Gua minta maaf buat lu nangis kayak gini, tolong jangan nangis lagi." Ucap Mark yang kini memajukan langkahnya dan mengulur tangannya hanya untuk mengusap air mata Haechan.

Haechan tidak menolak, ia membiarkan Mark menghapus air matanya. Bahkan Haechan memejamkan kedua matanya merasakan usapan halus di pipinya.

"Gua minta maaf."

.
.
.
.
.

"Haechan."

Haechan mendongakkan wajah menatap sang ayah yang kini tengah sibuk membaca koran.

"Apa Yah??" Tanya nya penasaran namun, ia lebih memilih untuk kembali menunduk untuk bermain balok-balok kayu berwarna-warni. Istana kecil adalah tujuan Haechan.

"Haechan mau jujur atau engga??"

Haechan langsung mendongakkan wajahnya menatap sang ayah, kedua mata beruang yang polos itu syarat akan sebuah tanda tanya.

"Mau jujur atau engga, dari ayah??" Tanya Johnny masih fokus pada korannya namun tahu apa yang di lakukan oleh anak bungsunya.

"Ayah, mau jujur gitu maksudnya??" Tanya Haechan memastikan dan kembali memainkan balok berwarna pelangi itu. Walau sudah kelas 4 SD, Haechan masih suka memainkan mainan balitanya karena tidak di perbolehkan bermain dengan teman-temannya oleh sang ayah.

"Hum, tanya sesuatu ke ayah."

Seketika, tangan Haechan terdiam dari pergerakkannya untuk di tumpuk. "Ayah, harus jujur ya??" Ucapnya serius disusul kekehan dari Johnny.

"Ayah, sayang kan sama Chan??" Setelah bertanya hal itu, Haechan langsung menaruh balok warna biru lusuh itu atas menaranya.

"Sayanglah, emang ga keliatan ya ayah sayang sama Chan?" Jawab Johnny sembari menaruh korannya di samping sofanya yang kosong. Tubuhnya ia majukan untuk menatap Haechan yang kini kembali serius bermain lagi.

They Never Know [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang