Tak tahukan dirimu,
Betapa dahsyatnya Pujangga Tetrabangsa?
Inilah mereka,
Daku tunjukkan seraya genggam pelita
Tertulis Pujangga itu,
"Tetrabangsa:
Puja, Sembah, Tunduk, Takluk"Meski keronta buluh tenggorok mereka beriak:
"Kami ini satu!"
Namun, pangkal bunga-bunga di padang saja bercongkak hati
Apalah lagi Tetrabangsa,
Lebih mulia daripada Tanah
Namun, tertunduk malu kepada LangitLentera bederang,
Digenggam pada tangan yang berpeluh
Naas,
Tak cukup terang
Untuk gelap yang tandus
Di kawah semerbak bulusDi Puja, tak dikenal Sembah
Di Sembah, dipantangkan Tunduk
Di Tunduk, dilatahkan TaklukDan jika sekali lagi mereka berkoar
Walau dengan hati yang sangat suci:
"Kami tiada beda!"
Namun, kala Sang Pembual itu tumbuh di kawahnya
Maka terapunglah dusta itu
Tercorenglah kesucian ituSang Pembual
Memang menyakiti Sang Neura
Namun tahukah kau,
Bahwa Sang Neura menghendakinya?Awan—kepada Sang-Sang
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.