Wahai hidup
Aku datang untuk menulis
Kakiku menata mataku
Mataku menata teluk budiku
Tangan bijakku memapah batinku, terangi jalankuLantas jemari ini berjoget di atas lika-liku berkerut
Menjambak rambut hingga ditelan mulut
Sampai serak para pembisu menyahut
Pada nestapa yang menumbuhkan kulit parutWahai hidup,
Aku nyata untuk mengukir
Andai aku mampu mencoreng rasa kikir
Pastilah tak sampai separuh kali aku berpikirNamun, keluh-keluh menggemparkan gendang rungu
Nan menyeru, berseru,
"Untuk apa sayangku terburu-buru?
Siapakah gerangan yang memburu?
Mengapa tak segera madu bibirmu melenyapkan si pemburu itu?"Wahai hidup,
Aku bernyawa untuk bersembunyi
Setelah menyadari kecewa diri
Telah kubunuh pemburu itu dengan gampang hati
Abai pada sang makhluk yang ternyata masih punya arti nuraniLantas di atas lutut nan menyerondok,
Yang sendirinya menjadi momok
Sambil memerah ayam berkokok,
Meremukkan kepalaku yang keras berbatok,
Menohok,
"Oh, ampunkanlah aku yang kian membengkok!"Awan—siklus hidup yang penuh sesal
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.