Wahai, Pujangga Tetrabangsa
Telah tulikah rungumu dengarkan salam dariku?
Meski tak perlu angin sekencang topan,
Untuk bersaksi:
Tiada buta netramu,
Tiada bisu wicaramu,
Menulis di atas tanah saksi Tribangsa beda:
"Wahai, Sang Pembual Sejati"Namun, tidakkah engkau berakal,
Walau tak pantas dikiaskan dalam sesajak kalimat?
Sang Mono, kilau emas laksana Sang Penguasa Fajar
Sang Di, untai kalung selaras Sang Kelip Malam
Sang Tri, gemericik gelang senyaring Sang Gulungan Samudera
Sang Tetra, bentang selendang sesyahdu Sang Hijau MuliaTiada cukupkah dikau mengeluh,
Beralas iri hati tak berpembuluh?
Demikian kaki-kaki Pujangga bertitah:
"Mono, Di, Tri, Tetra,
Dalam kandungan Puja, Sembah, Tunduk, Takluk"Sang Mono menjerit,
"Pantaskah emas-emasku merendah selayak Sang Penguasa Fajar?
Sang Di berteriak,
"Jatuhlah Sang Kelip Malam, sembah kalung-kalungku!"
Atau Sang Tri menarik pedang,
"Bungkamlah kau, Sang Gulungan Samudera, demi gelangku nan perkasa!"
Habis Sang Tetra berceletuk,
"Luputkan Sang Hijau Mulia, dari atas tanah saksiku!"Kini Sang Saksi Awan
Turun pada tanah
Tak perlu gelegar
Hanya untuk bergemuruh pelan:
"Tetrabangsa,
Tiuplah liur keagunganmu, layaknya Sang Tiada Hingga
Padahal, wibawanya tak sampai pada Sang Sempurna Fana"Awan—kepada Tetrabangsa
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.