Punggungku merebah di balik jemari tirai
Sedangkan tanganku meraba sudut dinding yang menepi
Tiada lagi yang mampu kuraih
Tiada lagi yang mampu mengangkat punggungku, merangkul bahukuDunia berputar bagai baling-baling yang tidak pernah tidur
Kertas-kertas kosong beterbangan di depanku
Menghinaku yang di pojokan itu
Bersama rasa culas yang membatuSungguh, ini bukan ulah daun kering yang gugur, terpecah-pecah di dalam tanah
Bukan pula ulah salju yang membekukan air yang tenang
Melainkan inilah ulahnya, Sang Pengintai
Mengintip dari balik bahu-bahu gunung
Mengawasi dari celah-celah puing-puing gedung yang runtuhTanpa keterpanaan
Tanpa kekaguman
Tanpa binar mata yang menjadi kelam
Tanpa hati yang didekap kejamBunga matahari menjadi bunga bulan
Bulan purnama menjadi bulan mati
Mati abadi menjadi mati suri
Dalam kebahagiaan yang keji
Dalam kekenyangan yang menusuk perut
Dalam pujian yang menjatuhkan
Dalam cinta yang melahirkan kebencianItulah ulah Sang Pengintai
Merampas dalam ketenangan
Mencabik-cabik dalam buaian
Menampar jiwa dalam sukacita
Menusuk kulit hati dalam ria pesta-pestaAwan—pesimisme kebahagiaan
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
AcakTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.