Adakah api yang menolak untuk padam?
Adakah angin yang menolak untuk tenang?
Kebisingan mencercah asa
Memotongnya jadi dua
Selalu saja berdustaJalinan benang yang tersusun rapi
Mengapa dikusutkan oleh hati nurani?
Tidakkah dunia lebih buruk,
dari janji-janji sepalsu Nazar Imitasi?Jika malam bederang siang
Akankah aku takut?
Bukankah aku ranting yang sia-sia,
Untuk dibakar pada api yang menolak padam?
Bukankah aku daun kering yang gugur,
Untuk diterbangkan pada angin yang menolak tenang?Aku mencuri untuk kepastian
Merampok apa yang harus kurampok
Membunuh apa yang harus kubunuh
Oleh karenanyalah aku terkutuk
Oleh karenanyalah aku dikutukBukan salah dunia ini aku menjadi cacat
Sebab dunia tak menghunuskan pedang
Bukan salah dunia ini aku menjadi hancur
Sebab dunia tak melemparkan batuNamun, akulah yang menjadikan diriku hancur
Akulah yang menjadikan aku malu
Siapa lagi yang hendak kupersalahkan?Jika aku berteriak,
Aku dianggap pendusta
Jika aku diam saja,
Aku dianggap pelacur
Lalu, kupersengketakan dunia yang penuh takaburMengapa aku tidak pergi saja?
Aku benci kehebohan semesta
Tidakkah ada tempat tenang jauh di lubuk sana?
Jawaban mana lagi yang harus kupercaya
Aku takut ini-itu sia-sia
Bisakah kepastian itu aku dapatkan bersama keteduhannya?Kepastian yang aku tunggu
Bukanlah kepastian manusia
Kepastian yang ingin kusambut
Ialah kepastian dari Sang Tiada HinggaAwan--dambaannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.