Di antara lautan api,
Ada lidah-lidah yang terbuka
Mengemis setetes air demi sehela napasnyaJutaan bunga merasa resah, gundah:
Haruskah kami mati?
Haruskah kami kering, merapuh keji?
Awan, berilah kami minum!Kemudian, tanah pun ikut bersaksi:
Di manakah bulirmu, Awanku?
Haruskah aku menjadi debu
Menerbangkan mayat bunga ini dalam sendu, sayu?Sungai-sungai yang lembut menyahut:
Kekasihku, di manakah cintamu?
Ikan-ikan dalam perutku sudah berhenti bercumbu
Matilah aku!Betapa menyedihkan kata-kata itu,
Menusuk, merasuk embun-embunku
Wahai, andaikan dikau tahu
Telah kukumpulkan titik-titik air buatmu
Namun Dia belum izinkan mereka tertabur atasmuAku melihat jelas dengan mataku
Betapa badai kering itu menyengsarakan dirimu
Remukkan nyawamu
Melipat-lipat ragamuDi manakah kiranya kamu akan menemukan dambaanmu?
Kamu menggersang di antara teluk berduri
Kamu terpanggang di bawah panas membui
Aku tahu, airku adalah damaimu
Dan damaimu adalah doamu
Maka tepislah badai itu, bisakah kamu?
Tamparlah badai itu, mampukah kamu?Akan tetapi, aku berseru padamu:
Dari ujung tebing sana, bukan itu yang aku lihat
Bukan tampar-menampar
Bukan seteru-menyeteru,
Melainkan hujan telah turun di antara gunung-gunung
Dindingnya menahan airnya yang tertabung, berkabung
Suatu saat nanti, airnya akan terhempas ke arahmu
Membasahi kamu berduaDan siapa yang tertancap di tanah yang tinggi, untunglah dia
Sebab mereka di tanah rendah itu
Akan terantuk kelimpahan yang terlalu
Lautan tanahnya menjadi lautan biru
Bersama genangan pahit yang sudah berlalu,
Yang harus dilunaskan terlebih dahuluSiapakah gerangan?
Di manakah kebenaran itu?
Aku bertanya kepadamu:
Siapakah yang harus melunaskan semua itu, wahai insan di atas tanah berbatu?Awan—harapan, sindiran
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.