(Kuharap mentari pagi
Tak menyambut
Kuharap sinar rembulan
Tutup mataku)Wahai, Bumantara
Semburat jinggamu
Keringkan darah dan peluhnya
Redamkan derap langkahnya
Menutup jerit mulutnya
Menguapkan api amarahnya(Sejak kau pergi
Tinggalkan bumi
Tinggal 'ku di sini)Mengapa, Bumantara?!
Mengapa engkau ambil jiwanya bersama semangatnya,
Engkau keringkan darahnya bersama kharismanya,
Engkau hapuskan peluhnya bersama kegagahannya?(Turunkan matahari
Usir bintang-bintang
Putarlah utara ke selatan
Untuk apa lagi, semuanya)DIKAU, BUMANTARA
Tanpa rasa salah,
Membawa malam kepada fajar
Tidakkah dikau sadari rasa takut di dada ini?
Serigala menatap ngeri
Ular-ular licik siap membelit
Lidah ini pun menjadi pahitKaki ini bahkan belum mampu mengembara
Tangan ini pun tak bisa mengepal dengan kokohnya(Ambillah jiwa retak ini
Ku 'tak ingin lagi
Putuskan hari-hari bumi
Aku ingin pergi
Menuju...)Tidakkah senang engkau bertualang,
Bersama rimbun hijau rerumputan?
Tidak senangkah engkau terbang,
Bersama mimpi dan harapan?
Walau raganya telah usai
Namun napasnya masih terdengar
Meski darahnya telah mengering
Tapi jasanya tak pernah bergemingTEGAKLAH!
Sebab fajar ini akan menjadi saksi
Bahwa akulah tanah ini
Tapak tilasnya tidak akan pernah mati
Sebab akan kujadikan abadiAwan—Lantunan Kesayangannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.