Wahai kepompong,
Ledakkanlah dirimu
Hancurkanlah tunas mudamu
Biarlah dia tetap menjadi ulatWahai tanaman muda,
Bakarlah akar-akarmu
Tutuplah matamu dari sinar matahari
Biarlah kamu layu sebelum berbuahApalah gunanya bertumbuh,
Jika kelak sebuah batu membawamu pada kematian?
Apalah gunanya berpikir,
Jika kelak bau bangkai membuat matamu kelayapan?Bunuhlah dirimu
Lebih baik kamu tidak terlahir
Kosongkanlah pikiranmu
Lebih baik kamu tidak berakal
Bakarlah sumbu-sumbumu
Supaya kamu tidak tertangkapUntuk apa hidup dalam kebutaan,
Jika kelak mati pun kamu akan tetap buta?
Untuk apa hidup dalam kesusahan,
Jika kelak mati pun kamu akan tetap sengsara?Jika aku adalah sebuah ledakan,
Yang muncul tanpa tujuan,
Adakah gunanya aku memiliki harapan?
Jika aku hanya sebuah campuran,
Yang tak memiliki masa depan,
Adakah gunanya aku hidup dan bertahan?Mengapa aku tidak dibonekai saja?
Biarlah tanganku ditali dan kakiku diikat,
Biarlah segala perbuatanku dikendalikan,
Supaya aku tak berkelana dan berkeliaranNamun, bagaimana aku bisa tulus mencintai,
Jika aku sepenuhnya dikendalikan?
Jika aku berkata, "aku mencintaimu", tapi aku sedang dikendalikan,
apakah cintaku itu tulus?
Namun, jika aku berkata, "aku mengasihimu" atas kehendakku sendiri,
barulah kasihku itu disebut tulusMaka, Sang Tiada Hingga biarkanku menggenggam separuh kehendakku,
Supaya cintaku datang atas kemauanku sendiri
Walau kadangkala, bebalku pun datang atas kemauanku sendiriAwan—jawaban atas
dilema kehendak
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi Basa-basi
RandomTidakkah Neura mau mendengar suara Awan di angkasa? Awan yang selalu berpuisi di setiap hujan, menjadi cawan bagi Sang Busur Elips, hanya ingin menyampaikan gundahnya dalam Puisi Basa-Basi. Yang bila tak dipahami, maka biarlah menjadi basa-basi.