12. Dejavu

442 82 26
                                    

Haloo!!!

Maaf baru bisa update. Aku lagi sibuk di dunia nyata. Jam terbang makin tinggi. Hahaha...

Jadi, jangan lupa vote dan komen.

Alangkah lebih bijak lagi kalau follow akun wattpad author Noviya1311 ya. Biar aku makin niat nulisnya. Karena semakin banyak follower, semakin semangat nulis.

Happy reading...

💕💕💕






Jeano akhirnya pulang ke rumah orang tuanya setelah dipaksa Winta. Masa iya pulang kampung nggak sungkem ke orang tua sendiri. Winta hanya takut Jeano kualat. Mana Bu Julia kalau sudah mengucapkan sumpah serapah ke anak-anaknya sering tembus. Buktinya beberapa bulan yang lalu Bu Julia mengomeli Jeano gara-gara sepatunya dipipisi kucingnya pria itu. Bu Julia bilang, kalau Jeano tidak segera pulang dan membuang kucingnya, maka Jeano akan mencret. Dan setelah itu Jeano mencret beneran sampai terpaksa cuti sehari dari kantor. Untung sekarang kucingnya sudah diberikan ke tetangga.

"Kamu kenapa sih nggak langsung pulang ke sini kemarin? Malah nginep di rumahnya Nana?" tanya Pak Damar yang sekarang menemani Jeano merokok. Iya, hanya menemani. Pak Damar sendiri sudah tobat merokok mengingat usianya semakin tua. Selain itu Nana akan menceramahinya kalau ketahuan merokok lagi.

"Capek, Pa. Lagian ke sininya pakai mobilnya Nana."

"Alasan mulu. Nah itu kamu ke sini pakai motornya Nana. Harusnya kemarin bisa dong ke sini pakai motor. Deket juga," celetuk Pak Damar tidak percaya dengan penjelasan Jeano.

"Males aja disuruh blind date Mama, Pa."

Pak Damar terkekeh. "Jadi karena itu kamu telepon Papa dulu sebelum ke sini?"

Jeano memang menelepon papanya dulu untuk memastikan keberadaan sang mama sebelum ke sini. Barulah setelah Pak Damar bilang kalau Bu Julia sedang sibuk di tempat laundry, Jeano datang ke sini. Kalau ada Bu Julia bisa berabe. Bisa disuruh ketemuan sama Melvi.

"Terus nanti kamu nggak mau ketemu Mama?" tanya Pak Damar setelah menghabiskan kopi di cangkirnya.

"Ya ketemu lah, tapi bentar aja. Abis itu mau healing. Kalau nggak nemuin Mama, entar diomelin dari Sabang sampe Merauke."

Pak Damar geleng-geleng kepala. "Dasar kamu, Je. Nggak pengen ngobrol sama Mama dulu?"

Jeano mengembuskan asap rokok hingga membumbung tinggi ke udara. "Enggak dulu, Pa. Paling ujung-ujungnya disuruh jalan sama Melvi."

"Je, kamu tuh udah dibantu nyari jodoh, tapi nggak bisa kooperatif," komentar Pak Damar yang sebenarnya juga gemas sendiri dengan Jeano. "Ilmu perbuayaan kamu kayaknya udah ambyar, ya, Je?"

"Udah ambyar cuman gara-gara satu perempuan, Pa."

Pak Damar mengelus dadanya. "Ampun, Je. Segitunya mengharapkan Karina. Kayak nggak ada perempuan lain aja. Kamu berhak bahagia. Meski jalan kebahagiaan kamu bukan pada Karina. Meski pawangnya bukan Karina."

Jeano menggeleng. "Nggak bisa, Pa. Karena sumber kebahagiaan aku cuman Karina. Aku udah nyoba berkali-kali move on dari Karina, tapi nyatanya tetep nggak bisa."

"Emang apa sih yang bikin kamu susah lupain Karina? Karena dia cantik?"

"Iya. Dia cantik luar-dalem. Jarang ada cewek yang cantik luar-dalem dalem," jawab Jeano jujur. Meski Karina sudah punya pacar baru, tapi Jeano yakin dia masih cantik luar-dalem.

"Sok tahu kamu."

"Aku lihat sendiri, Pa. Cewek-cewek lain tuh deketin aku karena katanya aku ganteng dan populer di kampus dulu. Mereka duluan yang deketin aku. Sementara Karina nggak kayak gitu. Malah aku yang deketin dia duluan." Jeano melempar puntung rokok ke dalam tempat sampah yang lumayan dekat dengan bangku tempat duduknya. "Pertama kali aku suka dia, pas lihat dia ngasih makanan ke kucing jalanan. Dia kalau lagi street feeding tuh kayak aura kebaikannya memancar."

What Can I Do?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang