28. Obrolan Pagi

423 60 12
                                    

Halooo!!!

Siapa yang kangen cerita ini?

Maaf baru bisa update karena pekerjaan di dunia nyata sangat rempong. Lagian chapter sebelumnya banyak yang jadi silent reader. So, aku akhirnya males juga update cepet. Toh, yang vote dan komen cuman dikit. Bahkan chapter sebelumnya hanya 1 orang yang komen. Padahal yang baca 100 lebih. Ya sudah akhirnya aku update nunggu mood balik aja, deh. Aku nggak ambis update cepet sekarang. Kecuali banyak yang vote dan komen. Maaf agak sarkas. Semoga kalian yang baca peka
Wkwkwkwkwk

Kalau kalian masih pengen cerita ini lanjut sampai tamat, berikan vote+komen+follow.


Happy reading...

💕💕💕






"Siapa yang nikah?" tanya Keenan penasaran.

Anak itu baru saja pamit berangkat sekolah, tapi malah kembali lagi ke rumah. Semuanya terdiam dan belum berani menjawab pertanyaan itu. Keenan memang sudah 17 tahun, tapi bagi Karina, adiknya itu belum sepenuhnya dewasa. Karina tidak ingin Keenan overthinking jika tahu kakaknya masuk ke dalam jurang permasalahan yang sangat dalam. Karina tidak mau menambah bebas pikiran Keenan. Anak itu sudah cukup menderita setelah kehilangan sang ayah. Cukup Kevan saja yang tahu semua masalah Karina.

"Kak?" seru Keenan lagi sambil melepas sepatunya.

"Temennya Kak Karina yang nikah, Nan." Itu bukan Karina yang menjawab, tapi Kevan.

"Oh gitu."

"Kamu kok balik lagi, Nan? Ada yang ketinggalan?" tanya Karina.

Keenan menganggukkan kepala. "Iya. Buku tugas aku ketinggalan."

"Oh gitu. Ya udah buruan diambil."

"Iya, Kak."

Beruntung Keenan langsung percaya. Anak itu melewati Karina dan Kevan begitu saja. Karina menatap lama punggung adik bungsunya yang menenteng tas ransel. Keenan sudah sebesar itu. Bertahun-tahun dia berusaha merawat dan membesarkan Keenan seorang diri. Karina itu kakak sekaligus orang tua bagi kedua adik laki-lakinya. Tanggung jawab itu sudah diembannya dengan ikhlas. Meski awalnya terasa sangat berat. Setelah punggung Keenan menghilang dibalik pintu kamar, Karina gantian menatap Kevan di sampingnya. Dalam hati dia merasa bangga punya adik tengah seperti Kevan. Pemuda itu begitu sabar memulai kehidupan baru bersama Karina setelah kedua orang tuanya pergi. Kevan yang selalu menguatkan Karina di saat jiwanya lelah menghadapi segala kenyataan hidup.

"Kenapa, Kak?" Kevan menatap balik Karina karena merasa ada yang aneh.

"Nggak ada apa-apa. Kamu selalu bisa kakak andalin, Kev."

"Halah. Cuman bantuin ngeles doang. Ya udah, Kakak buruan mandi terus siap-siap ke kantor. Nanti Mas Raka keburu datang."

"Iya. Kalau Keenan pamit lagi, bilangin kakak lagi mandi, ya. Biar dia langsung berangkat sekolah aja."

"Siap, Bos."

Menuruti pesan Jeano tadi, Karina mengenakan baju turtle neck untuk menutupi bekas merah di lehernya. Tak lupa melapisinya dengan blazer karena bekas ada di lengannya juga. Seperti janjinya di pagi buta, Raka datang menjemput Karina di rumah. Pria itu datang bersama sopirnya. Sehingga keduanya kini duduk di belakang. Raka terfokus pada layar iPad saat Karina menutup pintu mobil. Karina tidak heran karena Raka memang selalu totalitas dalam bekerja. Mau di mobil pun dia akan tetap bekerja. Karina sudah terbiasa dengan hal itu. Tidak kaget lagi kalau Raka cenderung tak mengacuhkannya seperti ini.

What Can I Do?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang