43. Semakin Perih

336 45 3
                                    


Halooo!!!

Gimana pas tau dapet notif?

Seneng nggak?

Maaf 4 hari yang lalu nggak jadi fast update karena aku tumbang. Sampe dehidrasi dan lemes banget. Hahaha

Ini part pendek ya. Lagi stuck aja pas nulis. Tapi moga kalian terhibur.

Happy reading!!!

🌻🌻🌻



Karina menghela napas pelan ketika dirinya sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa. Tadi Nana yang membawanya ke IGD gara-gara pingsan. Dan setelah dinyatakan kondisinya membaik, Karina dipindahkan. Orang yang pertama kali dilihatnya saat terbangun adalah Nana. Pria baik itu masih mengurusnya meski sebenarnya dia tidak ada jadwal jaga rumah sakit hari ini. Nana duduk di kursi sebelah bed. Karina merasa tidak enak sendiri sudah merepotkan Nana. 

“Akhirnya lo sadar juga. Mau minum nggak?” tawar Nana yang dibalas anggukan oleh Karina. Nana segera mengambilkan air mineral dan sedotan. Pria itulah yang membantu Karina minum perlahan.

Setelah merasa dahaganya hilang, Karina teringat satu hal. Janin di dalam rahimnya. Tangan kurus Karina menyentuh perutnya yang masih rata. Bodoh sekali jika sebelumnya Karina berpikiran untuk menghilangkan janin itu. Nyatanya, dia justru mengkhawatirkan makhluk kecil itu. Bagaimana pun Karina tidak bisa menjadi sosok ibu yang jahat. Karina tetap tidak tega. Benar kata Nana, janin itu berhak hidup dan bahagia. 

“Janin gue … gimana, Na?” tanyanya kemudian. Matanya mendadak panas dan berkaca-kaca.

“Tenang aja. Aman, kok. Janin lo baik-baik aja. Tadi udah diperiksa.”

Akhirnya Karina bisa bernapas lega setelah mendengar jawaban dari Nana. “Makasih udah nolongin gue dan anak gue, Na.”

“Sama-sama, Rin. Lo sama anak lo kan keluarga gue juga. Mau gimana pun kita ini saudara, lho.”

Karina terdiam sejenak. Matanya menatap langit-langit putih yang kosong. Sepertinya sudah cukup lama dia pingsan.

“Na, lo kalau mau pulang, ya pulang aja. Nggak usah nungguin gue lama-lama. Lo pasti capek,” lirih Karina.

“Lo tenang aja. Gue bakalan pulang, kok. Tapi seenggaknya gue harus memastikan kondisi lo lebih baik. Inget, Rin. Kita ini saudara.”

“Winta lebih butuhin lo, Na. Kasihan dia hamil besar di apartemen sendirian.”

Nana tersenyum ramah. “Lo nggak usah khawatir. Gue udah bilang ada pasien gawat darurat. Jadi, dia ditemenin Wening di apartemen.”

“Lo nggak bilang ke Winta kan kalau pasiennya gue?”

Nana menggeleng. “Enggak, kok. Lagian tadi yang paling banyak ngurusin lo di IGD Dokter Hasna, obgyn di sini. Gue cuman bantuin beliau doang dikit-dikit.”

Karina menghela napas berat lagi. “Gue kenapa, sih, Na? Kok sampai dikasih transfusi darah?” tanyanya sambil mengamati kantong berisi darah yang selangnya tersambung ke tangannya. Sebenarnya Karina ngeri sendiri melihatnya. Bari kali ini Karina masuk rumah sakit sampai harus membutuhkan transfusi darah.

“Anemia. Mau gue tunjukin hasil labnya?”

“Nggak usah,” balasnya singkat sambil menggelengkan kepala lemah.

“Hmm… ya udah. By the way, lo nggak mau tahu siapa yang donorin darahnya buat lo?” tanya Nana kemudian. Dari nada bicaranya, Karina menangkap sesuatu yang sepertinya janggal.

Karina menautkan alisnya. “Siapa emangnya?”

“Jeano,” jawab Nana sedikit ragu. “Dia yang donorin darahnya buat lo.”

“Na, jangan bilang lo udah ngasih tahu ke Jeano kalau gue hamil anaknya?” Kepala Karina yang dari awal sudah pening mendadak jadi lebih pening. 

“Jeano harus tahu, Rin. Coba kalau nggak ada Jeano, mungkin lo sama janin lo bisa dalam keadaan bahaya. Jangan remehin anemia, Rin.”

“Harusnya lo jangan kasih tahu Jeano.”

“Sayangnya gue nggak bisa diam gitu aja. Jeano itu ayah dari janin yang lo kandung. Dia berhak menjaga anaknya, Rin. Jeano seneng banget pas tahu lo hamil anaknya. Meski dia juga khawatir dengan kondiri lo pas gue kasih tahu kalau lo kena anemia,” ujar Nana malah menceritakan lebih detail.

“Na!” gertak Karina. Belum sempat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Karina membeku melihat siapa yang datang.

“Maaf, Na. Bikin lo nunggu lama. Gue udah selesai ngurus administrasinya. Lo bisa pulang sekarang,” kata Jeano sambil meletakkan kantong kresek berisi makanan di atas nakas. Jeano duduk di kursi kosong tepat di sebelah Nana. Dia menepuk-nepuk sebelah pundak adik iparnya. “Lo pulang aja, deh. Kasihan Winta kalau lo tinggal kelamaan. Lagian besok lo harus jaga di rumah sakit, kan. Lo pasti butuh waktu buat hibernasi sebelum jaga.”

“Oke kalau gitu. Entar kalau ada apa-apa, lo hubungin gue aja. Kalau keadaan Karina udah stabil, boleh pulang kata Dokter Hasna. Paling besok udah boleh pulang.”

“Kalau pulang hari ini juga, bisa nggak, Na?” tanya Karina tanpa mengarahkan pandangannya ke Jeano. Dia takut akan terjatuh ke dalam kenangan bersama Jeano.

“Sebaiknya jangan dulu.”

“Tapi besok gue harus… kerja.”

“Kamu jangan kerja dulu!” cegah Jeano tiba-tiba. “Aku nggak mau terjadi apa-apa ke kamu dan anak kita.”

Karina meremas selimut yang menutupi separuh tubunya. “Je, aku mohon jangan muncul lagi di hadapan aku!” sentak Karina. 

“Tapi, Rin!”

“Aku mohon kamu pergi sekarang juga dari hadapan aku, Je!” usir Karina. “Pergi, Je!” 

Nana lantas membisikkan sesuatu ke telinga Jeano. Entah apa yang dikatakan Nana, Karina tidak bisa mendengarnya. Namun, setelah Nana membisikkan sesuatu itu, Jeano mau enyah dari ruangan itu bersama Nana. Syukurlah, Karina bisa menahan rasa rindunya yang teramat berat. Karina tidak mau menunjukkan perasaan rindunya di hadapan Jeano. Dia terpaksa mengusir Jeano. Meski sejatinya hatinya semakin perih.

***

-tbc-

Gimana?

Ada yang penasaran dengan lanjutannya?

Kalo penasaran bisa baca duluan di karyakarsa chapter 44 dan 45. Harganya 5,5K ya. Bisa langsung baca biar tidak penasaran terus.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
What Can I Do?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang