41. Mencoba Melupakan

357 52 3
                                    

Holaaa!!!

Seneng nggak dapet notif aku update?

Jangan lupa vote dan komen ya!

Jangan lupa follow juga!

Happy reading....



🍓🍓🍓







Ditinggalkan untuk kedua kalinya tentu bukan hal yang baru untuk Jeano. Namun, rasa sakit akibat ditinggalkan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Sudah hampir sebulan ini Jeano kerja bagai kuda demi bisa melupakan rasa sakitnya. Puncaknya dia kerja keras setengah mati selama semingguan ini. Dia bahkan menerima semua proyek baru yang datang silih berganti tanpa memperhatikan tenaganya. Jeano menangani semuanya. Bahkan Ale di Jakarta sana sampai heran melihat Jeano menerima semua proyek baru. Padahal Ale sendiri selaku pemimpin perusahaan pusat tidak sebegitu ambisinya terhadap proyek baru.

Jeano yang mulai hilang kendali atas dirinya pun akhirnya tumbang. Bekerja habis-habisan sebagai pelampiasan berdampak pada fisiknya. Pria itu kini terkapar di dalam kamar apartemennya. Sejak kemarin Jeano flu berat dan badannya demam tinggi, tapi dia malah menggigil kedinginan. Hidung Jeano pun memerah dan wajahnya sedikit pucat. Seharian ini Jeano sudah berkali-kali bersin. Belum lagi kesehatan mentalnya yang juga tidak baik-baik saja. Dampak ditinggalkan Karina sebegitu dahsyatnya.

"Lo susah banget sih disuruh makan. Kalau lo kayak gini terus, lo nggak akan sembuh-sembuh!" omel Nana setelah memeriksa tanda vital Jeano. "Tensi lo juga drop, 80/60."

"Iya," sahut Jeano. Badan kekarnya bersembunyi di bawah selimut tebal.

"Iya, iya mulu. Tapi nggak dilakuin. Itu makanan dari Renza masih utuh. Obat dan vitamin dari Renza juga belum lo minum. Lo niat banget ya nyusahin orang lain?" Nana masih belum puas mengomeli Jeano.

Tadi pagi sebelum Renza berangkat dinas, dia menyempatkan diri untuk mengurus Jeano yang sakit. Sore ini gantian Nana yang mengurus. Kedua dokter residen itu kompak sekali merawat Jeano yang sakit hati dan sakit fisik. Keduanya juga sama-sama kompaknya mengomeli Jeano masalah kesehatan.

"Ya maaf. Lagian gue nggak lo urusin nggak apa-apa. Cuma flu doang. Pasti besok sembuh sendiri," balas Jeano enteng tanpa merasa berdosa pada Nana yang sedari seminggu yang lalu mengkhawatirkannya. Iya, Nana sudah tahu masalah Jeano dengan Karina. Dokter residen interna itu menjadi tempat curhat pertama Jeano.

"Gimana mau sembuh kalau makan aja enggak. Itu botol air minum juga masih penuh. Lo kalau kayak gini terus, lama-lama bisa dehidrasi dan kekurangan nutrisi. Imun lo bisa makin turun. Malah bikin tambah sakit, tahu nggak? Lo emang kakak ipar ngeyelan yang pernah gue miliki." Nana semakin ngegas memojokkan Jeano.

Jeano yang semula meringkuk di dalam selimut tebal, akhirnya mengubah posisinya menjadi duduk. Tak lama kemudian Jeano bersin-bersin. Nana langsung menyemprotkan alkohol yang dibawanya ke kamar Jeano. Sebenarnya Jeano merasa adik iparnya ini lebay. Namun, dia mengerti bahwa Nana tidak ingin ketularan flu. Terlebih di unit apartemennya ada ibu hamil 9 bulan. Bisa tambah ribet kalau Winta ketularan flu. Tadi saja Nana melarang Winta menjenguk abangnya yang sedang flu.

"Gue... nggak nafsu makan, Na."

"Ya harus dipaksa, anjir. Kalau mulut lo pahit, abis ini gue buatin air madu anget, deh. Terus makan."

"Gue nggak nafsu makan bukan cuma gara-gara mulut pahit, tapi karena gue emang nggak nggak mood ngapa-ngapain semenjak nggak ada Karina."

"Bulol ya bulol, Je. Tapi jangan siksa diri lo kayak gini!" sembur Nana, lalu menoyor kepala Jeano. "Jangan jadi bodoh!"

What Can I Do?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang