Prolog

287 12 3
                                    

Di sisi timur perempatan jalan, terdapat sebuah bangunan ruko lawas. Bangunan yang tampak sangat mungil dibanding gedung-gedung perkantoran raksasa di sekelilingnya. Pemiliknya menolak menjual bangunan itu kepada siapapun dengan harga berapapun. 

Entah karena alasan apa. Mungkin karena letaknya yang strategis, terbukti dari posisinya yang mudah terlihat dari ke empat sisi jalan.

Bunga-bunga kosmos yang tertanam di depan ruko, cat berwarna kuning pastel yang melapisi dindingnya, dan papan nama bertuliskan "Little Cosmos" membuat keberadaan bangunan ini tambah mencolok apabila dibandingkan dengan gedung-gedung lainnya yang mayoritas berwarna abu-abu dan gersang. 

Interior dalam toko dapat terlihat bahkan dari kafe seberang jalan berkat jendela besar di kedua sisi bangunan. Penuh dengan berbagai jenis bunga dan tanaman yang bisa ditanam di pot.

Dan pagi ini, pemilik ruko itu terlihat sedang menyirami beberapa tanaman dalam pot-pot besar. Meski begitu, tanda gantung di pintu masuknya masih belum dibalik juga. Menariknya, hampir semua pejalan kaki yang melintas di depan toko bunga itu menyempatkan beberapa detik waktunya untuk melihat ke dalam toko. 

Toko bunga itu memang terlalu menarik perhatian untuk diabaikan. Atau mungkin para pejalan kaki itu lebih tertarik pada rupa sang pemilik toko.

Tak lama, seorang perempuan muda masuk ke dalam dan menyapa pemilik toko yang kini sudah beralih mengelap kaca jendela toko. Mungkin dia salah satu pegawainya. Saat ini memang masih cukup pagi, matahari belum terik dan udara masih terasa dingin. 

Berbeda dengan kafe yang sudah buka dari pukul enam pagi untuk menyegarkan pagi para pegawai kantoran dan mengisi sarapan para murid sekolah, toko bunga itu tampaknya masih butuh waktu untuk memulai jam operasionalnya.

"Ya ampun, nona pemilik kafe! Selamat pagi!" sapa seorang ibu-ibu paruh baya dengan tas belanja di tangan kiri dan kanannya.

"Pagi, Bu. Belanjaannya banyak sekali hari ini." Ibu itu salah satu pelanggan setianya, ia tinggal di sebuah apartemen tak jauh dari sini.

"Iya, anak saya sore ini akan datang, jadi saya harus masak banyak." Matanya berbinar-binar begitu ia membicarakan anaknya. Kalau tidak salah, anaknya seorang dokter spesialis jantung yang bekerja di luar kota.

"Anda pasti senang sekali. Oh, ayo masuk sebentar. Saya baru memanggang roti." Pemilik kafe membantu membawa tas belanja pelanggan setianya dan menuntunnya masuk ke dalam.

"Saya baru memanggang ini, rotinya masih akan lembut sampai sore nanti. Kuberikan gratis, tapi jangan beritahu pada siapapun, ya." Pemilik kafe mengedipkan sebelah matanya lalu menyerahkan paper bag berwarna cokelat.

"Aduh, jadi merepotkan."

"Sama sekali tidak."

"Terima kasih, saya akan meminta anak saya ke sini nanti untuk membeli beberapa. Roti Anda sangat khas, pasti cocok untuk dijadikan oleh-oleh." Perkataan ibu itu sontak membuat pemilik kafe tersipu.

"Terima kasih banyak pujiannya."

"Bukan apa-apa. Oh, tadi kenapa Anda melamun di depan?"

"Saya hanya sedang memperhatikan toko bunga di seberang. Mumpung belum banyak pelanggan."

"Oh begitu. Kalau begitu, saya duluan ya."

"Hati-hati di jalan, Bu."

Kling kling.

"Selamat datang." Pemilik kafe tersenyum ramah kepada pelanggan yang baru datang.

"Ice americano satu." Pelanggan itu mengeluarkan dompet dari tas selempangnya, menarik sebuah kartu, dan meletakkannya di meja kasir. "Kubayar dengan kartu."

"Baik. Kau sangat rajin karena berangkat bekerja sepagi ini." Pelanggan itu hanya tersenyum tipis menanggapinya. 

Kemeja lengan panjang berbahan satin dengan celana kulot berwarna serupa dan sepatu hak lima sentimeter. Penampilan khas pegawai kantoran.

Mirae Architect, nama perusahaan yang tertulis di name tag-nya. Biro arsitek yang termasuk lima besar itu berlokasi di ujung jalan. Sekitar lima menit berjalan kaki dari kafe.

Apa ada hal buruk yang terjadi? Dia kelihatan sangat diam hari ini, batin pemilik kafe. Ah, itu urusannya. Tak butuh waktu lama, pesanan pelanggan itu selesai dibuat.

"Ini pesanannya." Paper bag cokelat itu berpindah tangan.

"Saya tidak memesan ini." Pelanggan itu mengeluarkan croissant yang terbungkus plastik bening.

"Itu bonus."

"Kau bisa bangkrut jika terus melakukan hal seperti ini." Ia kembali memasukkan ke dalam paper bag-nya. "Tapi, terima kasih," lanjutnya.

"Terima kasih kembali."

.

.

Yaayy. Di Prolog  ini aku memperkenalkan kedua karakter yang ke depannya akan jadi kunci dari cerita Asta Urna dari sudut pandang seseorang yang juga akan memegang kunci penting di cerita ini. 

Seorang arsitek & pemilik toko bunga dengan karakter yang jauh berbeda. Akankah mereka bisa bersama?

Buat mateman yang suka sama cerita ini, please rekomen cerita ini ke IG/Tiktok/Twitter/Facebook/ platform manapun yang butuh rekomendasi cerita wattpad :))

Jangan lupa follow ig aku (@bellaregins_) karena di sana aku bakal banyak share teaser, spoiler & gambar terupdate dari cerita Asta Urna <3

Thank youu semua yang udah baca sejauh ini, love you aallll!!! 

Tinggalin bintang yuk buat aku *

SEE YOU NEXT PART >>>

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang