Chapter 2B - Melawan atau Menghindar

48 10 14
                                    

Sial, aku sudah tahu ini akan terjadi, batin Urna begitu ia meraba wajahnya. Mata dan bibirnya bengkak, serta hidungnya merah. Untungnya ia selalu bangun tiga jam sebelum waktu masuk kerja. Seharusnya Urna masih punya cukup waktu untuk memperbaiki keadaan wajahnya.

Cepat-cepat ia menaruh beberapa buah sendok ke freezer. Sembari menunggu sendok-sendok itu siap, Urna menyiapkan sarapan sederhana andalannya. 

Susu dan sereal. Kedua bahan itu cukup baginya karena mudah, cepat, dan bergizi.

Hari ini ia bertekad untuk memprotes kelalaian toko bunga itu. Urna tidak habis pikir, kesalahan yang biasanya terjadi saat mengirim bunga dengan catatan hanyalah ada kesalahan ketik di catatannya. 

Tapi ini bukan kesalahan ketik yang hanya satu atau dua huruf. Seluruh kalimat!

Urna sengaja berangkat lebih pagi demi memprotes pelayanan toko bunga, sialnya toko bunga itu masih tutup. Terpaksa Urna menahan emosinya yang belum tersalurkan hingga siang ini. Dua kejadian itulah yang membuat Urna sudah melamun dua kali hari ini. Pertama saat rapat tadi, dan yang kedua adalah saat ini di pantri.

"Maaf, Bu Urna." Asisten Isa mendatanginya dengan wajah murung.

"Oh? Kenapa minta maaf?"

"Desain saya buruk," jawab asistennya.

"Jika dilihat dari segi estetika memang kurang bagus," jawab Urna telak. Jawaban Urna membuat ekspresi asisten Isa memburuk. Melihatnya, cepat-cepat Urna menambahkan, "Tetapi, bukan berarti desain itu buruk. Saya yakin kamu sudah memikirkannya baik-baik. Lagipula, itu bukan hal besar.".

Bisa gawat kalau Urna asal bicara dan Asisten Isa sakit hati lalu memutuskan untuk pindah ke tim lain. Urna memang bisa melakukan tugasnya tanpa asisten, tapi harus ia akui pekerjaan Isa sangat membantunya. Ia pun punya beberapa hal yang ia siapkan di luar pekerjaan.

"Ah iya, sore ini saya ada perlu. Catatan rapatnya cukup di-email saja, sisa pekerjaan revisinya bisa diserahkan ke saya. Saya yang akan pantau."

Isa mengangguk. "Baik Bu."

"Ok, ayo kita kembali ke ruang rapat." Urna membawa gelas kopi bersamanya. Ia butuh kafein untuk membuatnya tetap fokus di rapat nanti.

...

Huft. Ia hanya perlu membuka pintu toko bunga ini dan mulai marah-marah. Tapi sedari tadi, Urna tidak melihat pria yang melayani pesanannya kemarin. Masa ia harus marah-marah pada orang lain? 

Ah peduli amat, ia tetap harus meminta pertanggungjawaban atas kelalaian mereka.

Kling.

"Halo, selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" Sapaan ramah dari seorang pegawai perempuan langsung menyambutnya.

"Saya ingin bertemu dengan florist pria kemarin, jadwal kerjanya kemarin di siang hari, sekitar pukul dua belas siang."

"Maaf, Ibu untuk keperluan apa?" Kening Urna berkerut. Tadinya ia ingin bicara baik-baik dengan tenang. Ia merogoh kantung celananya, lalu mengeluarkan secarik kertas kecil yang tampak sudah robek namun disolasi kembali.

"Saya ingin meminta pertanggung jawaban atas hal ini, bagaimana bisa toko bunga selalai ini hingga notes di bunga saya berbeda jauh dengan yang saya pesan," ucap Urna sembari memperlihatkan kertas yang ia keluarkan. 

Bentuk kertas itu sudah tidak keruan, tampak jelas bekas robekannya meski sudah tersambung lagi dengan solatip perekat. Melihat kertas itu, pegawai di depannya langsung memucat. 

"Saya benar-benar minta maaf! Itu kelalaian saya, saya betul-betul minta maaf! Saya akan bertanggung jawab." Pegawai itu sampai membungkuk dan menyatukan kedua tangannya. 

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang