Chapter 8 - Menjadi Canggung

41 7 0
                                    

"Oh, buku Anda basah!" seru Asta menyadari tote bag Urna kebasahan. Urna mengangkat tasnya. Ah iya, tas itu berisi buku sketsanya dan kini pasti basah semua.

Eh?

"Asta! Anda lebih kebasahan!" seru Urna panik. Bagian belakang baju Asta kebasahan, dan itu karena dirinya. Selain menarik Urna ke sisi dalam jalan, Asta menutupi Urna dari semburan air akibat mobil yang mengebut tadi.

"Saya tidak apa-apa. Buku Anda harus segera dikeringkan! Sketsa tadi ada di buku Urna, kan?"

Wah, Urna baru kali ini melihat Asta panik. Bahkan saat bertengkar dengan Emran, pria itu sama sekali tidak terlihat panik. Tapi hanya karena buku sketsa Urna basah, Asta bisa sepanik itu?

"Ini bukan masalah besar," jawab Urna berusaha tetap tenang.

"Di rumah saya ada pengering rambut, ayo keringkan di rumah saya! Kalau tidak langsung dikeringkan bisa gawat!"

Urna dilema.

Bukunya memang harus segera dikeringkan, banyak sketsa dan catatan penting di bukunya.

Tapi apakah ia harus ke rumah pria malam-malam begini? Bus terakhir juga akan segera datang. Apakah laki-laki ini bisa dipercaya?

"Saya akan mengantar Urna pulang, saya juga berjanji tidak akan melakukan hal yang tidak sopan pada Urna," kata Asta melihat Urna yang bimbang. "Yang penting selamatkan buku Urna dulu," tambahnya.

"Baiklah," jawab Urna akhirnya. Entah mengapa Urna berpikir kalau pria ini tidak berbohong ataupun punya maksud lain, dilihat dari gerak gerik dan ucapannya.

"Selamat datang," ucap Asta setelah ia mendorong pintu toko bunga. Pria itu melangkah mundur dan menahan pintu di baliknya sampai Urna masuk ke dalam toko.

"Permisi."

Begitu masuk, Urna melihat sekeliling. Ia sudah dua kali ke toko bunga ini, tetapi belum pernah memperhatikan detail bangunan dan interiornya. Ternyata cantik.

Sreet. Tak.

Urna segera berbalik, suara tadi mengganggunya. Bagaimana kalau Asta mengunci pintunya sehingga Urna tidak akan bisa kabur?

"Saya hanya menyelot penahan pintunya saja. Kalau-kalau Urna khawatir saya akan mengunci Urna disini. Berbahaya kalau saya membiarkan pintunya tidak terkunci." 

Wah, apa Asta bisa membaca pikirannya? Setelah ini Urna harus berhati-hati dengan pikirannya, batin Urna. 

Tanpa sadar, Urna menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. Setelahnya Asta memandunya naik ke lantai dua, lantai yang dipakai Asta sebagai tempat tinggal.

Rumah Asta punya cukup banyak ruang, namun di tengah rumah terdapat tiga ruang yang ia gabung menjadi satu tanpa sekat. Dapur, ruang makan, dan ruang keluarga. Dari tangga langsung terlihat sebuah ruang dengan tulisan "Gudang" di pintunya. Sementara di samping tangga, ada sebuah kamar dan kamar mandi.

Terakhir, di ujung ada dua pintu. Sepertinya keduanya adalah kamar.

Urna percaya bahwa rumah seseorang menggambarkan pribadi pemiliknya, untuk rumah Asta yang didominasi warna krem, cokelat dan putih. Urna tahu kalau Asta ingin memberikan suasana nyaman dan hangat kepada tamu yang datang.

Namun di satu sisi, Urna bisa melihat bahwa pemilik rumah ini juga kesepian.

"Silakan duduk di sini." Asta menepuk-nepuk sofa di ruang keluarga. Urna menurut dan duduk di sofa 3-seater itu.

"Anda ingin teh atau kopi?" tawar Asta. Mereka berdua habis kehujanan, lebih baik minum sesuatu yang hangat.

"Teh saja, terima kasih banyak," jawab Urna.

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang