Chapter 7 - Tawaran yang Sulit Ditolak

53 6 0
                                    

Sekawanan siswa berseragam putih merah berjalan menyebrangi lapangan ke gerbang sekolah. Beberapa di antaranya menyeret tas sekolah beroda dan sisanya menggendong tas ransel.

"Astaaa, jajan mainan, yuk!" ajak salah satu bocah laki-laki yang menyeret tas rodanya.

"Aku nggak punya uang," tolak Asta kecil. Ia masih berusia tujuh tahun saat itu.

"Yah, kamu minta dong ke ayahmu! Masa tiap hari ke sekolah kamu nggak dikasih uang jajan?"

"Asta ngga ikut?" tanya temannya yang lain. Asta hanya tertunduk malu.

"Ya udah, tinggalin aja yuk. Nanti mang jualannya keburu pergi!" Kawanan itu tiba-tiba terbagi dua, empat lainnya berlarian keluar gerbang sementara satu ditinggal di belakang.

Asta berjalan melewati gerobak tukang mainan, mulai dari mainan kartu, gelembung sabun, hingga pistol mainan terpajang rapi. Ia merogoh saku celananya, hanya ada sebuah uang koin seribu rupiah. Uang itu diberi ibunya agar Asta bisa pulang dengan naik angkot, minggu lalu Asta baru saja diajari cara naik angkot. Dengan berat bocah kecil itu menelan ludah dan melanjutkan perjalanannya.

Peluh bercucuran membasahi seragamnya, anak laki-laki itu sebentar lagi sampai di rumah. Namun, langkah kecilnya tiba-tiba terhenti. Ia teringat sesuatu. Hari ini nilai ulangan dibagikan dan Asta mendapat nilai seratus, ibunya pasti akan sangat senang. Dan mungkin saja, ayahnya akan memberikan uang jajan karena nilainya bagus.

Asyik, gumam Asta memikirkan kalau ia akan bisa jajan mainan bersama teman-temannya. Senyum manis terpatri di bibirnya.

"Mamaa!" Asta berseru memanggil ibunya sembari melepaskan sepatu sekolah yang solnya sudah terlepas sedikit.

PRAANGG!

Asta terlonjak kaget mendengar suara itu. Detak jantungnya memburu, tangannya yang berada di kenop pintu gemetaran. Niatnya membuka pintu seketika lenyap. Asta ketakutan.

Suara teriakan dan barang yang dilempar masih terus terdengar silih berganti. Beberapa tetangga sampai keluar untuk melirik ke rumah Asta. Asta hanya bisa terduduk di teras dengan kedua tangan menutup telinganya dan membenamkan wajah di lutut.

Setelah berapa lama, suara berisik dari dalam rumahnya mulai mereda. Asta memberanikan diri melepaskan tangan dari telinganya, kemudian melirik ke arah pintu.

Clik.

"Ma, mama?"

"Ya Tuhan, Asta sayang." Seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan berlari meski terseok-seok ke arah putranya. Ia langsung memeluk putra semata wayangnya. Wanita itu menyelipkan selembar uang lima ribu rupiah ke saku seragam Asta.

"Asta jajan ya, main sama teman," bujuk wanita itu.

"Mama kenapa?" Ia ketakutan melihat fisik ibunya yang babak belur. Air mata mengalir dari mata bulatnya.

"Mama nggak apa-apa sayang, Asta pergi main sama teman dulu ya," jawab ibunya sembari menyeka air mata di pipi Asta dengan tangannya.

"Mama berdarah," kata Asta.

"Asta, main sama Om dulu, yuk. Di rumah Om ada film kartun," ucap seorang pria. Asta mendongak. Om itu adalah pemilik toko kelontong.

"Asta ikut Om dulu ya," bujuk ibunya lagi. Asta mengangguk meski masih menangis. Om pemilik toko kelontong menggendong Asta.

"Saya titip Asta," ucap ibunya.

"Heh jalang! Hebat ya kamu, keluar sebentar udah ngegodain laki-laki lain!" bentak seseorang yang baru keluar dari rumah. Wajah ibunya berubah, cepat-cepat ia menghapus air matanya.

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang