Chapter 2A - Melawan atau Menghindar

60 9 11
                                    

"Karena ada perubahan denah ruangan dari klien, saya merubah peletakan dan ukuran kolom seperti yang ditampilkan. Untuk bagian eksterior, klien ingin tetap mempertahankan gaya klasik Eropa, jadi saya menggunakan atap limasan berbentuk T untuk menyesuaikan dengan balkon baru," jelas Isa. Asistennya itu sedang menjelaskan desain yang telah direvisi dalam waktu semalam.

"Maaf, tapi menurut saya dengan bentuk atap yang baru, kurang bagus bila dilihat dari arah depan," timpal Erina, drafter tim Urna. "Saya juga mungkin kesulitan untuk menggambarkan blueprint atapnya."

"Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung desain Anda. Desain atap itu membuat lebih kompleks untuk mengatur saluran air hujan dan kelistrikannya,' tambah anggota tim MEP alias mechanical, electrical and plumbing atau berarti mekanik, kelistrikan dan perpipaan.

"Saya menyukai bentuk atapnya, tetapi perlu diperhatikan juga anggarannya. Kerangka baja ringan memang tidak mahal, tetapi dilihat dari luas atapnya pembengkakkan biaya bisa cukup banyak dari sisi biaya genting." Kini estimator menyuarakan pendapatnya. Tinggal satu orang yang sedari tadi diam saja.

"Bagaimana pendapat Anda, Bu Arsen?"

Tidak ada jawaban dari sang arsitek senior. Jarang sekali kepala tim mereka seperti ini. Kepala tim yang mereka kenal selalu fokus, tidak seperti sekarang. Ia sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Bu? Bu Urna?" Isa mencoba membangunkan Urna dari lamunannya.

"Ah, iya. Maaf tadi saya tidak fokus," jawab Urna akhirnya. Urna memperhatikan tampilan presentasi Isa sebentar, lalu menjawab, "Untuk atap, kita bisa pertahankan bagian depannya dan dibuat menjadi prisma saja, sementara sisi kanan dan kiri dibuat datar. Di bagian depan atap bisa ditambahkan ukiran untuk menambah aksen. Itu pendapat saya." Anggota tim lain mengangguk-angguk mendengar pendapat Urna yang tampak win-win untuk semuanya.

"Bagaimana kalau kita istirahat lima belas menit sebelum membahas hal lainnya?" usul Urna setelahnya.

"Tidak masalah, Bu."

"Terima kasih, maaf. Kita mulai rapat lima belas menit lagi." Urna kemudian menutup layar laptopnya, dan berjalan menuju pantri. Ia hanya tidur sekitar dua jam karena kejadian kemarin, dan hal itu menyebabkan pikirannya kacau balau.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?!" pekiknya marah.

Sudah cukup banyak hal menyebalkan yang terjadi, namun momen saat itu adalah puncaknya. Dan Urna sudah tidak punya tenaga untuk menahan emosinya. Orang yang paling ia benci kini ada di hadapannya.

"Mama nunggu kamu pulang kerja, Na." 

Wah, Ia menyebut dirinya sendiri Mama sekarang? Lucu sekali.

"Saya nggak nanya apa yang kamu lakuin sekarang. Saya tanya kenapa! Kamu nggak baca pesan yang saya kirim di keranjang bunga?!"

"Justru Mama masih di sini karena pesan itu."

Apa pesannya kurang jelas? 

Urna kebingungan. Urna yakin kalau ia menulis "Tolong jangan datang lagi, saya hidup dengan baik tanpamu".

"Kalau begitu harusnya kamu tahu kalau saya hidup dengan sangaaat baik tanpa kamu, jadi jangan pernah datang ke sini lagi!"

Emosi yang Urna rasakan campur aduk. Antara marah, bingung, benci, dan juga sedikit rindu. Meski Urna tidak mengakui perasaan yang terakhir. Kedatangan orang yang menyebut dirinya mama ini bagaikan percikan api di atas jerami. Jerami kebencian yang sudah ia tumpuk selama bertahun-tahun.

"Ta-tapi, isi pesannya nggak seperti itu, Na," jawab wanita berusia akhir lima puluhan itu lirih. Sedari kecil, memang Urna memiliki karakter yang paling emosional dibanding kedua saudarinya. Ya, Urna adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang