Chapter 3 - Tamu dari Masa Lalu

53 9 6
                                    


"Aish, sial," umpat Urna selepas melirik arloji yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.

Padahal aku yang sudah mewanti-wanti supaya dia tidak telat, nyatanya malah aku yang telat, batinnya kesal. Urna benci orang yang terlambat, dan ia lebih benci jika ia yang terlambat.

Urna sudah berniat berangkat empat puluh menit yang lalu, namun rencananya kacau karena berkas draft yang telah dibuat rusak. Urna tidak punya pilihan lain selain menyelesaikan masalah pekerjaannya terlebih dulu. Pekerjaan jauh lebih penting.

Dalam perjalanan menuju tempat janjian, Urna menyesali pilihannya kemarin. Ia biasanya membuat janji temu di Sweet Cafe & Bakery karena dekat kantor, tapi kali ini adalah kasus khusus, jadi ia memilih tempat lain.

Butuh waktu sepuluh menit untuk Urna sampai di Semicolon Coffee dengan berlari. Begitu ia membuka pintu, seorang pria tampan di usia akhir dua puluhan melambaikan tangan padanya.

"Kau terlambat tiga puluh menit," kata pria itu sembari memamerkan senyum menawannya. Dulu Urna sempat jatuh cinta pada senyuman itu. Lebih tepatnya, pria itu.

"Maaf." Entah permintaan maaf yang singkat itu tulus atau tidak.

"Dimaafkan, boleh aku tahu alasannya?"

"Kurasa tidak perlu."

"Ahaha, aku mengerti. Kau ternyata masih tidak berubah." Lagi-lagi pria itu tersenyum. "Ah iya, aku ingin memberikan ini," sambungnya.

Ia menaruh sebuah buket bunga di atas meja. Buket berwarna putih dengan bunga baby's breath dan mawar pink. Cantik.

buket bunga dari mas mantan :')

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

buket bunga dari mas mantan :')

Urna baru akan menolak bunga itu, namun niatnya batal ketika mata Urna menemukan sesuatu yang menarik di antara bunga-bunga itu. Tangannya bergerak mengambil kertas notes yang menarik perhatiannya.

Aku merindukanmu, mari kita mulai semuanya dari awal.

Urna menatap lekat-lekat notes itu.

"Ehem." Urna mengalihkan pandangannya ke mantan pacarnya itu.

Emran Guntoro namanya. Ia adalah senior Urna di kampus, kala itu Emran bisa dibilang idola kampus. Cerdas, tampan, disenangi dosen, dan putra seorang arsitek legendaris. Arya Guntoro.

"Ya?" jawab Urna.

"Seperti tulisan di notes itu, aku merindukanmu. Aku ingin kita mulai hubungan kita dari awal lagi." Urna hanya terdiam mendengarnya.

"Ka-kamu tau, kalau ayahku orangnya keras. Dia memberikan satu syarat supaya aku bisa terus pacaran sama kamu, yaitu aku harus S2 di MIT. Aku tinggalin kamu demi tetep bisa sama kamu, Urna. Aku masih sayang kamu. Sayang banget." lanjut Emran dengan wajah memelas.

Urna hanya tersenyum kecil mendengar penjelasan yang terlambat dua tahun itu. Setelah itu, Urna membuka mulutnya.

"Aku mengerti, kamu memang seorang anak yang berbakti." Laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Sebelum Emran berbicara lagi, Urna melanjutkan.

"Tapi, benarkah hanya itu alasanmu? Setelah kuingat-ingat, semasa kuliah dulu, hampir seluruh proyek arsitekmu adalah ideku. Dulu, kupikir itu wajar karena aku mencintaimu. Tapi ternyata aku dibodohi-"

"Urna." Potong Emran dengan ekspresi wajah yang berkebalikan dari sebelumnya.

"Dengarkan dulu, aku tidak akan lama. Lagipula, dari tadi aku tidak memotong ucapanmu. Saat aku juniormu di Mirae, kamu juga mengakui semua karyaku saat hasilnya bagus, dan menyalahkanku saat hasilnya buruk. Begitu mengetahui kalau aku hebat, kamu dengan lihainya terus berada dekatku agar bisa terus menjadi pusat perhatian yang seharusnya untukku. Intinya, kamu seperti bulan saat gerhana matahari. Menutupi cahayaku. Karena itulah, aku tidak ingin memulai hubungan denganmu untuk kedua kalinya."

Saat ini, Emran mengepalkan tangannya. Tentu saja semua ucapan Urna itu menyinggungnya. Urna mengambil sebuah paper bag di sisi kirinya, lalu menaruhnya di atas meja.

"Niatku ke sini hanya mengembalikan barang milikmu." Kemudian ia bangkit berdiri.

"Ah iya, seharusnya hal pertama yang kamu ucapkan padaku adalah terima kasih. Kamu mendapatkan surat rekomendasi dari Mirae untuk berkuliah di MIT karena ide-ideku yang kamu akui di depan atasan."

"Terima kasih atas kunjungannya," ucap pelayan kafe saat Urna keluar. Begitu keluar dari kafe, Urna menghela napas. Ia merasakan sebuah kelegaan di hatinya, ia puas karena sudah mengatakan semuanya.

Di fase awal Emran pergi, Urna sakit hati karena ditinggal kekasihnya tanpa penjelasan apapun. Setelah beberapa bulan berlalu, Urna lebih sakit hati menyadari bahwa selama ini ia hanya dimanfaatkan.

Urna baru akan berjalan ke halte bus untuk pulang, sampai seseorang menarik tangannya dengan keras. Tubuh Urna tersentak dan spontan berbalik ke belakang.

"Lo nggak bisa seenaknya ngomong gitu!" bentak Emran. Jantung Urna seketika seakan berhenti berdetak, napasnya juga rasanya lebih sesak.

"Lo pikir, karena sekarang lo udah hebat, jadi lo bisa bicara seenaknya? Hah! Nggak tau diri ya? Kalau bukan karena gw, lo nggak akan bisa masuk Mirae! Ngaca dong Urna! Lo itu cuma mahasiswi miskin dulu!"

Telunjuk Emran mengarah ke dahinya dan menoyornya. Urna hampir tidak bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Kepalanya juga pening mendengar suara keras dari Emran.

"Wah, barusan kamu mengakui kalau aku sudah hebat," balas Urna begitu ia menguasai kembali tubuhnya. "Karena aku cuma seorang Urna Prianka, dan kamu adalah Emran Guntoro jadi aku nggak bisa bicara seenaknya? Karena aku mahasiswi biasa dan kamu adalah anak arsitek legendaris, jadi kamu punya hak buat menoyor kepalaku? Begitu?"

"Dasar cewek rendahan, lo masih nggak sadar diri juga?" balas Emran sinis.

Ah, ini dia wujud asli pria manipulatif ini. Begitu marah, sikap Emran akan berubah seratus delapan puluh derajat. Urna tiba-tiba teringat saat ia mengacaukan salah satu tugas kuliah Emran, hari itu Urna dimarahi habis-habisan. Membentaknya seperti saat ini, juga menoyornya seperti yang dilakukannya saat ini.

Lucunya, setelah marah pria itu langsung mengiriminya barang-barang mahal sebagai permintaan maaf.

"Lagi pula, aku tidak berbicara omong kosong, yang aku katakan adalah fak-."

Mata Urna terbelakak seketika. Memang benar kata orang-orang, di saat hidup kita berada dalam bahaya, waktu akan terasa berjalan lebih lambat. Urna tahu ia akan ditampar, tangan besar Emran sudah terangkat dan siap menamparnya. Tetapi badannya tidak mampu bergerak menghindar.

"Aarrggghhhh! Sialan, siapa lo?!"

.

Hai semuaa, ini dia part 3! Ternyata yang kemarin nelepon adalah mas mantan. Hadeuh, mas! Kalau udah jadi mantan ya sadar diri aja gitu :/ Jangan ganggu hidup Urna yang udah adem ayem begini.

Buat mateman yang suka sama cerita ini, please rekomen cerita ini ke IG/Tiktok/Twitter/Facebook/ platform manapun yang butuh rekomendasi cerita wattpad :))

Jangan lupa follow ig aku (@bellaregins_) karena di sana aku bakal banyak share teaser, spoiler & gambar terupdate dari cerita Asta Urna <3

Thank youu semua yang udah baca sejauh ini, love you aallll!!!

Like juga cerita ini biar makin cepet UP! Dukung aku financially juga supaya bisa segera jadi rich onty, hehe :')

SEE YOU NEXT PART >>>

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang