Chapter 10 - Alasan

30 7 1
                                    

WARNING! 

Di bab ini aku bakal nyeritain kenapa Urna sebenci itu sama mama kandungnya. Tapi, bab ini mengandung banyak kata-kata kasar & kejadian yangmungkin bisa menyinggung/men-trigger trauma/luka temen-temen.

Maaf, thank you!

---------------

"Hahahaha! Gila lo ya!" Gelak tawa menyusul setelahnya, memenuhi restoran makanan cepat saji. Sekelompok mahasiswa duduk mengelilingi dua buah meja yang digabungkan. Ayam dan kentang goreng ditaruh di tengah-tengah meja.

"Minum minum minum!" Sorakan beberapa orang lainnya.

"Gue udah kembung banget nih!" Seorang mahasiswi berusia di awal dua puluhan menepuk-nepuk perutnya yang membuncit.

"Nggak bisa, ayo minum! Lo yang bikin aturan loh!"

"Aish," gerutunya namun tetap mengangkat segelas besar berisi kola, kemudian meneguk separuh isinya.

"Eh, habisin loh!" Seorang teman di sebelah perempuan itu menepuk bahunya.

"Nggak kuat! Tanyain satu pertanyaan lagi deh, kalau gue masih nggak bisa jawab baru gue habisin." Ia berusaha bernegosiasi. Seketika tatapan teman-temannya berubah. Ia bisa merasakan bahwa pertanyaan selanjutnya lebih tidak bisa ia jawab ketimbang pertanyaan sebelumnya. Mereka tampak berunding untuk pertanyaan yang harus dijawabnya.

"Oke! Kita udah nemu pertanyaannya." Mahasiswi itu mengangguk kecil.

"Urna, kali ini lo harus jawab ya!" Teman di ujung mewanti-wanti sambil terkekeh.

"Hahaha, gak janji ah!" jawab Urna jahil.

"Apa ketakutan terbesar lo?" tanya teman di seberangnya sembari tersenyum lebar. Urna terdiam mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali ia pikirkan akhir akhir ini.

Melihat ekspresi Urna yang berubah, teman-temannya ikut terdiam. Sepertinya pertanyaan yang barusan mereka ajukan sudah keterlaluan.

"Urna, nggak usah dijawab nggak apa-apa kok," kata salah seorang diantara mereka.

"Mama gue meninggal," jawab Urna.

"Eh?"

"Ketakutan terbesar gue adalah kalau mama gue meninggal." Urna mengulang jawabannya. Anehnya, tidak ada tanggapan apapun dari teman-temannya. Semuanya diam seribu bahasa dan menatapnya dengan tatapan yang Urna sendiri tidak bisa mengartikannya.

"Haha, jangan liat gue kayak gitu dong! Gue yakin Mama gue bakal panjang umur, ayo-ayo lanjutin game-nya!" Urna berusaha mencairkan suasana. Ia tidak terpikir kalau jawabannya akan menuai respons seperti ini. Karena mereka adalah teman-teman dekatnya semasa kuliah, Urna merasa ia tidak perlu menutupi hal itu.

"Bye-bye Urna! Sampe ketemu besok!" seru teman-temannya dari dalam mobil. Sekitar pukul sebelas malam saat itu dan Urna yang paling pertama diantar pulang, tetapi hanya sampai gang depan rumahnya. Itu karena ada sebuah mobil yang terparkir di tengah jalan, padahal gang rumahnya hanya cukup untuk satu mobil. Urna mengalah dan turun di depan gang.

"Sampe ketemu besokk! Thank you udah anter yaa!" Urna melambaikan tangannya heboh. Besok adalah hari wisuda angkatannya, sehingga Urna dan teman-teman sekelasnya memutuskan untuk ngumpul bareng untuk merayakan kelulusan.

Begitu mobil teman-temannya sudah tidak terlihat, Urna menurunkan tangannya, kemudian berbalik arah menuju ke rumahnya.

Daerah rumahnya jarang dilewati mobil, tetapi anehnya ada sebuah mobil terparkir di tengah jalan dengan kondisi bagasi terbuka. Semakin Urna mendekat, Urna mengenali koper yang ada di bagasi mobil itu.

Asta Urna [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang