bagian 11

202 109 440
                                    

;- terkadang, tidak semua yang kita rasakan dapat diungkapkan begitu saja -;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

;- terkadang, tidak semua yang kita rasakan dapat diungkapkan begitu saja -;

_____

Jangan di skip narasinyaa, bestie!!❤
_____

"Kamu kenapa sayang, kok kelihatannya gelisah banget?" tanya Arinda sembari menatap wajah anaknya yang terlihat lusuh.

Gema mengangkat wajah, menatap setiap inci bagian wajah yang ada di depannya. Tatapan sang ibu yang meneduhkan, membantunya merasa tenang ditengah kekalutan. "Ibun gak kenapa-napa?"

Arinda mengangkat kedua bahunya dan tertawa ringan. "Baik-baik saja, emang ada yang salah dari penampilan ibun?" tanyanya dengan menyendokkan nasi kedalam piring sang anak.

Gema menggeleng pelan, tangannya meraih lauk pauk yang terhidang. "Gema khawatir, tadi pagi—"

"Gak kenapa-napa, Gema. Ibun baik-baik saja, kamu gak perlu khawatir, sayang. Mungkin gadis itu sedang dalam kondisi yang kurang baik, lagipula itu juga kesalahan ibun," sanggah Arinda sebelum Gema menyelesaikan kalimatnya.

Pemuda itu menghela napas. Ibunya selalu begini, selalu seperti ini, memaafkan orang dengan begitu mudah, tanpa berpikir letak harga dirinya. Sedetik kemudian dia tersenyum tipis menyadari sebuah fakta bahwa sikapnya yang pemaaf ini menurun dari ibunya.

"Gema gak suka, semua orang boleh hina Gema, semua orang boleh caci maki Gema, tapi tidak dengan Ibun. Tidak ada yang boleh melukai ratu ku, bahkan hanya seujung kuku pun," ucapnya sedikit serius namun didalam pendengaran Arinda ini justru sesuatu yang mengemaskan.

Wanita paruh baya itu tertawa. "Kamu benar-benar tumbuh sebagai pemuda yang hebat ya, sayang. Seperti ayahmu."

Mendengar kata ayah disebut membuat Gema sedikit merinding. Entah mengapa, tapi pemuda itu selalu merasakan hawa yang berbeda ketika 'ayah' disebut. Mungkin karena ayahnya baru meninggal belum lama ini, sekitar empat bulan yang lalu.

"Ayah berhasil mendidik Gema dengan begitu hebat. Jadi sesuai pesan ayah, Gema harus bisa jaga Ibun sampai titik darah penghabisan," ucapnya dengan mengangkat sendok ditangan kanannya. 

"MERDEKA!" teriak Gema lantang bak pahlawan di medan perang.

Lagi-lagi Arinda tertawa. Perasaan yang bahagia menyelimuti keduanya. "Merdeka!" sahutnya dengan mengangkat centong nasi yang ia pegang.

"Suami Ibun memang luar biasa."

"Iya, suami Ibun benar-benar hebat dalam mendidik Gema," ucapnya disertai tawa diikuti oleh kekehan kecil yang lolos dari bibir sang ibu.

SUARA GEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang