;- tidak ada hidup tanpa rasa sakit. Begitu pula dengan sebaliknya. Bedanya, setiap sakit yang dirasa kini memiliki penawar yang mujarab, yaitu kamu -;_____
Bunyi suara pasien monitor terdengar nyaring memasuki telinga beradu dengan suara tangis Arinda disamping ranjang sang anak. Banyak air mata menetes hingga baju yang dia kenakan basah oleh cairan bening itu. Melihat kondisi Gema yang amat mengenaskan begini membuat hatinya ikut merasakan sakit.
Ucapan yang memohon Gema pulang dengan kondisi apapun benar terwujud. Sayangnya, perasaan ikhlas tidak benar-benar menyelimutinya. Dia tidak sungguh saat mengatakannya, sebab kini melihat sang putra setengah sekarat dengan selang infus dan alat bantu bernapas membuat Arinda marah. Dia marah karena tidak mampu menjaga putranya, seperti janji yang pernah ia utarakan kepada mendiang sang suami, bahwa sampai akhir hayat, dirinya akan senantiasa menjaga Gema.
"Bun, yang sabar ya, setidaknya Gema sudah pulang." Dino mengusap punggungnya, berusaha memberikan rasa tenang.
Namun nihil, melihat anak semata wayang dan adik iparnya terbaring lemah diatas ranjang biru ini membuat hati Arinda meringis kesakitan. Perasaannya terluka, amarahnya menggebu, tidak pernah terbayangkan bahwa hal ini akan terjadi.
"Gema, anak Ibun, ayo bangun sayang, kita makan nasi goreng seafood kesukaan kamu." Arinda mengusap tangan anaknya dengan lembut.
Sejak Gema dilarikan ke rumah sakit pemuda itu memang tidak lagi mampu membuka mata, rasanya berat seperti ada ribuan ton beban yang menghalangi kelopak matanya untuk terbuka, padahal semua indra yang ada di tubuhnya masih berfungsi dengan baik. Dia masih mendengar isak tangis Kinar selama perjalanan menuju rumah sakit, dia masih merasakan nyeri menjalar dari bagian perutnya. Namun tidak dengan matanya yang seakan enggan melihat gadisnya menangis.
"Nak, Ibun senang kamu pulang," kata Arinda lagi. Dino yang berada disampingnya tidak lagi mampu menahan tangis. Air mata itu mengalir begitu saja seiring dengan sakit hatinya melihat kondisi sang sahabat menjadi seperti ini.
"Nak ...," Arinda tak lelah memanggil sang anak berkali-kali jumlahnya. Sesekali mengusap dahi dan mengecup kening Gema dengan begitu hangat.
Berbeda dengan Kinar yang berada di luar ruangan, ditemani oleh Nizar dan Cendi gadis itu masih sesenggukan menangisi kondisi Gema. Dia tidak mampu melihat keadaan sang pacar, sebab saat ini hatinya terluka karena Gema yang ditemukan begitu menderita.
Nizar berulang kali mengusap pundak Kinar, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak larut dalam kesedihannya. Setidaknya Gema telah kembali pulang dengan selamat, meski tidak sebaik yang diharapkan. Setidaknya sosok itu kembali hadir di dalam kehidupannya.
Meski didalam hatinya dia juga merasa kasihan. Dia juga menangis melihat sosok sahabat karibnya terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Hatinya tidak bisa berbohong bahwa dia sebegitu tersiksa juga.
"Udah Ki, jangan nangis terus kasihan mata lo," ucap Cendi yang duduk di samping Kirinya.
"Gimana aku gak nangis, Cen? Gema-ku kondisinya seperti itu." Kinar masih meraung dengan pedih, hatinya memang sudah penuh luka. Tapi luka yang satu ini amat menyakitkan untuknya, memang bukan tubuhnya yang dianiaya, tapi segala rasa sakit yang Gema terima seakan ikut dia rasakan juga.
"Kita semua juga sedih, Ki. Setidaknya Gema berhasil pulang dan masih bernapas." Nizar ikut menyuarakan perasaannya.
"Ikhlas saat melihat Gema pulang dengan kondisi apapun itu bohong, Zar. Nyatanya sekarang aku benar-benar tidak terima melihatnya terbaring lemah tak berdaya seperti itu," gumam Kinar pelan. Dadanya naik turun tidak karuan, rasanya sesak dengan napas yang tersenggal-senggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA GEMA
Fanfiction"Gema, aku menyukai suaramu, aku menyukai segala hal yang kamu ucapkan, aku menyukai merdu nada yang terdengar dari mulutmu, aku menyukaimu, Gema." Gema tersenyum simpul dengan sorot mata yang amat berbahagia. "Jadi, teruslah mendengarkan suaraku, t...