DUA

73 8 0
                                    

Kata orang jaman dahulu, perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan yang sebetulnya tidak pernah kita kira akan terjadi. The ones you don't plan or could ever imagine happening. Dan, yang tidak pernah diketahui oleh keduanya kalau hari tersebut adalah hari terakhir mereka bersama. Sama halnya dengan kisah cinta Jade dan Ian yang kian terus memburuk tanpa adanya akhir yang jelas dan tidak pernah ada seorang pun yang mengira bahwa akan adanya "goodbye" diantara pasangan yang paling sempurna di SMA Methodila dulu.

Jade berjalan menuju salah satu ruangan favoritnya dengan airpods yang dipakai di salah satu telinganya. Lagu Joji yang berjudul Glimpse of Us menjadi pilihan perempuan dengan atasan lengan panjang bergaris dan celana bahan, tidak lupa dengan buku pajak tebal yang ada ditangannya.

"Baru selesai mata kuliah perpajakan?" tanya Kian Harvey yang baru saja bergabung dengan perjalanan Jade ke ruang kemahasiswaan.

"Hai, iya baru selesai nih," Jade tersenyum dan menggoyang-goyangkan buku pajak yang ia bawa ditangan dengan bangga karena mata kuliah perpajakan adalah mata kuliah yang dihindari banyak orang, sedangkan ia sangat mencintai pajak.

"Hari ini mau ambil surat tugas?" Kian kembali bertanya,

"Iya, lo ikut workshop nginep di Surabaya juga?"

"Iya, biasalah," Kian menghela nafasnya lelah. "Gue baru aja balik dari Medan buat wakilin HIMA jurusan kita, sekarang udah disuruh terbang ke Surabaya buat workshop tiga malam. Sinting nggak sih?" Ia tidak habis pikir dengan kampusnya yang begitu menyiksa mahasiswanya, lebih tepatnya bukan karena lelah ikut acara, namun lelah berdebat dengan kedua orangtuanya saat meminta ijin untuk pergi.

"Semangat deh," ujar Jade, ia tertawa pelan. Kalau Kian sangat benci mengenai acara-acara yang harus diwakilkan oleh dirinya, Jade malah sangat senang karena dengan begitu ia dapat berkesempatan untuk mencari pandangan baru dan pemahaman atas kota-kota yang sebelumnya belum pernah ia kunjungi.

"Thanks, gue jalan duluan ya. Ternyata gue harus ke ruang dosen dulu sebelum ke ruang kemahasiswaan," Kian menunjukkan notifikasi dari ponselnya yang baru saja masuk dari salah satu dosen jurusannya. Setelah mendapat anggukan kepala dari Jade, Kian pun berpisah dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan teman perempuannya itu.

Jade tetap melanjutkan perjalanannya menuju ruang kemahasiswaan. Satu lorong lagi, ujarnya dalam hati. Matanya mengarah pada lapangan basket yang berada di samping kanannya, ada seorang laki-laki yang sedang bermain dengan segerombolan laki-laki lainnya, namun yang membuat perhatian Jade tertuju padanya adalah mata laki-laki itu. Mata kecoklatan yang hampir mirip dengan mata Ian, lelakinya.

Tanpa aba-aba, air mata Jade mengalir begitu saja, dari yang perlahan mendadak jadi lebih deras. Bukan tanpa sebab perempuan itu menangis, melainkan karena ia sangat rindu dengan mata coklat milik Ian yang selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang dan cinta.

Oktober. Bulan penuh tangisan bagi Jade.

Kaki Jade yang tadinya berjalan dengan langkah lebar mendadak berhenti.

Mata coklat. Rambut khas laki-laki pada umumnya dengan warna hitam yang lebih pekat dari pada cowok pada umumnya.

"Pesona lo, Mave," Harry Yu menggelengkan kepalanya sambil mendrible bola basket yang ada ditangannya.

Laki-laki yang dipanggil Mave oleh Harry pun memutar kepalanya untuk melihat apa yang ditunjuk oleh dagu sahabatnya tadi. Lalu, ia mendapati seorang perempuan menatap dirinya lekat-lekat, tanpa kedipan sama sekali. "Ah, another one I guess," ujarnya malas.

"Yeah, tapi yang kali ini beda dari pada perempuan lainnya, Mave," Harry memberitahu.

"Apa yang ngebuat beda emangnya?" tanya Asher, cowok yang berhasil menyandang the most playboy di Universitas Pelita Kasih selama dua tahun berturut-turut sejak ia masuk bangku perkuliahan.

"Well, yang pastinya adalah wanita yang satu jurusan sama gue dan punya beberapa masa lalu yang lumayan bisa dibilang udah jadi rahasia umum, tapi gue bisa pastiin kalau lo sampai dapatin Jade, lo pastinya nggak bakalan bisa jatuh cinta sama cewek lainnya because she is perfect. Legit perfect," ujar Harry Yu yang merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa jurusan manajemen bisnis.

"Sampai segitunya?" Asher menyunggingkan senyuman smirknya yang seakan mengatakan bahwa itu adalah tantangan baru baginya.

"Iya, bahkan wakil gue aja sampai suka sama dia. Cuman sayangnya karena Jade belum move on dan emang nggak punya keinginan untuk pacaran karena masa lalunya yang masih abu-abu, si Kian sampai ditolak," Harry memberitahu.

Maverick tidak berkomentar apapun, namun ia masih tetap mempertahankan tatapannya pada perempuan yang juga menatapnya. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba saja terukir dihatinya padahal ia sama sekali belum pernah melihat perempuan yang bernama Jade itu.

"Saatnya gue bekerja nggak sih?" Asher menaik-turunkan alisnya.

Perhatian Maverick mendadak beralih pada sahabatnya itu, "Lo bisa main sama cewek manapun yang ada di kampus, tapi jangan dia," ia menggelengkan kepalanya sekali.

"Why?"
"Just ... not her,"
ujar Maverick.

"Jangan bilang kalau lo tiba-tiba mau pindah haluan dari anti romantic jadi pria penuh cinta?" Asher tertawa kecil. "Nggak, kan?" ia kembali memastikan.

"Nggak mungkin lah," tawa Harry hampir saja meledak.

"Let's just see where these stares take me to," Maverick berkata dalam hati. 

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang