DUA PULUH SEMBILAN

22 3 0
                                    

Pagi hari ini, dengan mata sembab akibat kemarin malam terlalu banyak menangis bersama Mave, Jade harus menggunakan kacamatanya pada saat ia berkunjung ke rumah sakit tempat dimana Ian melakukan perawatannya. Dengan langkah gontai, ia berjalan menelusuri lorong demi lorong sebelum pada akhirnya menemukan kamar nomor 811. Jade berdeham, membasahi tenggorokannya dengan air minum dari botol yang ia bawa. "Good morning, good morning, good morning," ujarnya dengan nada yang berbeda di setiap kalimat.

"Serak banget itu suara, habis karaoke semaleman?" sindir Gia yang tiba-tiba ada di belakang punggung Jade.

"Sialan!" Jade menepuk-nepuk dadanya, terkejut dengan kehadiran perempuan yang tentu saja pasti ada di rumah sakit, tempat dimana Ian dirawat.

"Dia udah bangun. Lima belas menit lagi bakalan ikut kemotrapi jadi lo cuman punya sedikit waktu buat ngobrol sama dia. Use them and impressed him."

"Impressed him?"

"Jujur aja, gue sangat berharap kalau lo berdua akan balikan.

"Lucu," sindir Jade. Ia kemudian memberanikan diri untuk lebih dulu masuk ke kamar Ian dan menemukan laki-laki itu sedang menikmati sarapannya.

Begitu mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka, Ian reflek mengangkat wajahnya dari pandangannya ke meja dan beralih ke arah suara. "Lo ngapain kesini? Terakhir kali gue bilang sama lo kalau kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Harusnya lo sadar kalau itu artinya lo nggak boleh berkunjung kesini. Kenapa nggak paham-paham sih?"

"Oh, hello to you too," Jade mengabaikan ocehan dari sang pasien dan berjalan mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Ia membuka tasnya dan menaruh kotakan susu yang ia sudah siapkan, "susu favorit lo."

Gia membelakkan matanya dan berjalan cepat untuk mengambil susu kotak yang disiapkan oleh Jade, "Ian udah nggak pernah minum susu lagi semenjak dinyatain leukemia. Produk susu bisa memperburuk efek samping pengobatan."

"Ah? Iya kah? Sorry, gue sama sekali nggak tau," ujar Jade canggung, ia menaruh tangan kanannya ke bagian leher belakang. Ia mendesah kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya gue cari tau dulu, pikirnya.

Ian mendengus, menyunggingkan senyuman sinisnya.

"Sorry, gue benar-benar nggak tau. Kalau gue tau juga nggak mungkin gue bawain susu favorit lo," Jade merasa tidak enak. Ia menundukkan kepalanya dan menatap lantai rumah sakit.

"Apa sih yang lo tau? Lo sama sekali nggak tau apapun," sinis Ian.

Sial! Haruskah Ian mengatakan hal seperti itu? Jade menahan amarah dan tangisannya. Entah kenapa rasanya ia ingin meledak dan marah saat ini, terutama dengan perkataan pancingan yang selalu dilontarkan oleh Ian. Namun, ia akan menahan semuanya dan menganggap bahwa bukan Ian yang berbicara, namun penyakit dari pria itu yang berbicara.

"Mulut lo kayak nggak pernah disekolahin tau nggak?" Bukan Jade yang melontarkan perkataan tersebut, melainkan Gia yang kini terlihat sangat kesal dan marah.

"Apaan sih lo?" balas Ian yang tidak ingin kalah, raut wajahnya begitu datar.

"Lo kira semua orang harus tau tentang penyakit lo dan semua larangan makanan yang lo nggak boleh makan?" Gia bertanya dengan kesal. Rasanya ia ingin membanting semua piring yang ada di meja depan Ian dan membuangnya ke lantai. "Grow up bisa nggak lo?"

Ian terdiam. Tidak tau apa yang harus ia katakan saat ini. Ia salah memilih lawan debat.

"Lo harusnya bersyukur, Jade masih peduli sama lo. Lo tau apa yang bakalan gue lakuin kalau jadi dia? Gue bakalan tinggalin lo sedari awal, Yan. Lo kira enak? Ditinggal sama pacar yang gue anggap love of my life hanya karena dia adalah seorang pengecut yang nggak mau diketahui kelemahan dan penyakitnya? Dua tahun tanpa kabar?" Gia mendengus kesal, membuang wajahnya karena tidak ingin menatap cowok brengsek yang dia panggil dengan sebutan sahabat, "gue bahkan nggak mau lihat muka lo lagi, Yan. Kalau gue jadi Jade, gue akan cari kebahagiaan yang baru sejak dua tahun yang lalu, sejak lo tinggalin dia, Yan."

Gia melanjutkan, "Tapi apa? Jade dengan baiknya nungguin lo kembali dan dia bertahan sampai sekarang. Bahkan ketika gue cerita tentang penyakit lo, lo tau apa yang dia tanya? Lo ada dimana!" seru Gia, "dan apa? Setelah gue bawa dia kesini, lo malah sia-siain kesempatan yang dikasih sama Jade dan bersikap layaknya cowok brengsek yang nggak tau diri. She stayed for you! You dumb dumb!" serunya frustasi dan marah pada saat yang bersamaan.

"Gia," panggil Jade, ia semakin merasa tidak enak karena dirinya hubungan pertemanan antara Gia dan Ian sepertinya akan berakhir.

"Apa? Biarin! Biarin cowok brengsek ini sadar sama apa yang dia sia-siain!" seru Gia, ia melirik ke arah Jade dengan lembut dan berubah ketika matanya menangkap Ian yang juga sedang melihat ke arahnya. "Apa? Masih belum sadar juga?!" teriaknya pada Ian.

Ian menutup matanya pelan dan membukanya kembali, menarik nafasnya dan membuangnya, "Iya."

"Ngomong yang keras! Udah sadar atau belum?!" seru Gia.

"Udah," ujar Ian dengan tidak tulus.

"Si goblok!" Gia mendekat ke ranjang Ian dan melempar kotak susu yang ditangannya ke arah Ian, "apa yang lo sadarin hah?! Jawab gue atau gue bakalan suruh lo minum susu itu!"

Ian memutar bola matanya jengah, kenapa ia seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh Ibunya? Mau tidak mau akhirnya Ian berkata, "Iya. Gue sadar kalau seharusnya merasa bersyukur karena Jade masih peduli dan mau temenin gue terlepas dosa dan perbuatan gue ke dia," Ian menoleh ke arah Jade dan mengubah pandangannya menjadi lebih tulus seperti ia menatap perempuan itu dua tahun yang lalu, "Gue minta maaf, Jade. You didn't go through hell for nothing, for this."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang