LIMA PULUH DUA

23 5 0
                                    

Apel, air putih, pisang goreng dan greentea latte pesanan Jade serta Ian sudah berada di meja hitam Labrinth tanpa ada seorang pun yang berniat untuk memakan ataupun meminumnya. Jade berdeham canggung, sudah dua hari ia harus duduk dihadapan orang lain dengan canggung dan tidak tau harus berbicara terlebih dahulu atau menunggu orang lain untuk memulai pembicaraannya.

Seakan paham atas kecanggungan Jade, Ian mencoba untuk menunjukkan raut wajahnya yang santai meskipun kenyataannya berbanding terbalik dan jauh dari santai. "Gue nggak tau kalau lo suka minum greentea latte. Lo selalu bilang nggak suka ketika gue memesan greentea disini," ujar Ian.

"Ya, I tried every single thing that you liked since you left me."

"I am sorry."

"Akhirnya lo mengucapkan maaf ya?" Emosi Jade mulai meledak, ia kembali mengingat semua perkataan kejam yang diucapkan Ian ketika mereka di rumah sakit. Semua penolakan yang selalu diberikan laki-laki itu, ia sangat mengingatnya karena mustahil baginya untuk melupakan setiap momen dibalik kejadian itu.

"Gue minta maaf karena gue harus jadi pengecut dihadapan lo, Jade," Ian menundukkan kepalanya sembari menurunkan topi hitam yang ia pakai untuk menyembunyikan rambut miliknya yang sudah tidak ada saat ini. "Gue tau kalau gue pengecut."

"You are."

"Gue tau kalau akan terdengar seperti manusia brengsek dengan jutaan alasan, tapi gue punya alasan gue sendiri ketika gue memutuskan jalan yang gue ambil, Jade."

"You were my freaking boyfriend, Ian! You planned everything perfectly without including me in it. You are the most selfish human being that i've ever met!"

"I know, I know, Jade."

"Lo tau dan tetap melakukan itu? How on earth you dumped me like i worth nothing but less than a piece of shit?!" seru Jade, emosinya lumayan meledak meskipun bukan ini yang ia rencanakan ketika ingin menyelesaikan permasalahannya dengan Ian. Ia selalu ingin penyelesaian yang damai, tapi sepertinya tidak akan bisa ya?

"Kenapa, Ian?! Kenapa lo ninggalin gue dengan mudahnya dan kembali ke Indonesia seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan lo menjadi lebih jahat tanpa alasan yang jelas ke gue!" Jade melanjutkan sedangkan Ian hanya dapat menundukkan kepalanya, menutupi semua pancaran rasa bersalah dari dirinya. "Jawab gue, Ian! Kenapa?"

"Karena ... meninggalkan lo dan memutuskan hubungan kita adalah salah satu dari ketiga hal yang paling mudah dan masih bisa gue lakukan, Jade. It's easy and simple."

Pada saat telinganya mendengar dan hatinya memahami apa yang dikatakan oleh Ian, Jade terdiam. Ia membisu bukan karena ia tidak marah dengan fakta yang sudah ia asumsikan semalam dengan tujuan untuk menyiapkan diri sendiri. Jade paham, alasan Ian memang terdengar brengsek, tapi kalau ia menjadi Ian, ia kemungkinan besar akan mengambil jalan yang sama karena ia tidak mau membawa orang yang ia cintai untuk ikut terseret ke beban yang ada. Namun, satu hal yang harus diketahui oleh Ian, "Penyakit lo bukan beban untuk gue."

"Apa?"

"Penyakit lo, apapun yang dihadapin sama lo itu seharusnya bisa kita hadapin bersama karena kita udah janji untuk melakukan itu, bukan?"

"Apa yang udah kita janjikan dulu?"

"Untuk terus berada dijalan yang sama, bukan hanya itu, melainkan jalan disisi yang sama," ujar Jade, "tapi, yang lo lakukan ke gue .. adalah hal yang sama sekali nggak pernah terbayangkan sama gue, Ian. You said sorry."

"I did?"

"Setelah itu lo mengusir gue layaknya gue sampah dihadapan Gia," Jade melanjutkannya dengan, "lo tau apa yang membuat gue sangat membenci lo? Lo memperlakukan gue seperti sampah, Ian. Salah gue apa sih sama lo?"

"Lo sama sekali nggak salah, Jade. It's all me."

Tidak mau terlalu lama saling menyalahkan tanpa solusi dan akhir yang jelas, akhirnya Jade berusaha mengesampingkan emosi dan kekesalannya, mencoba untuk berpikir realistis dan sedewasa mungkin. Mau sampai kapan ia menyimpan dendam dan kemarahannya pada laki-laki yang ia cintai? "Gue nggak mau lo ataupun gue untuk seperti ini terus. Kita harus selesaiin semuanya dengan baik-baik. Kita ketemu dengan perasaan bahagia, sama-sama punya perasaan yang sama untuk saling mencintai meskipun sesaat, jadi gue juga mau kita berakhir dengan baik-baik meskipun gue tau sepertinya sulit."

"Gue sama sekali nggak masalah kalau lo mau menyalahkan gue, Jade. Karena, gue sadar kalau gue memang permasalahannya. Semua keputusan, pertimbangan dan jalan yang gue pilih ... mereka semua yang ngebuat kita menjadi complicated dan salah paham akan satu sama lain. Blame all the fault on me and my cancer, Jade."

"I don't wanna fight with you anymore, Ian. Gue lelah."

"Sorry?"

"Gue menghargai segala keputusan lo sedari dulu sampai sekarang meskipun gue menyayangkan banyak hal, tapi gue bersyukur bisa melihat lo kembali ke Indonesia dan mengetahui semua kondisi kesehatan lo. Gue bersyukur akan itu, Ian. Jadi, gue harap ... lo nggak terlalu menyalahkan diri lo sendiri dan berfokus kepada hasil negatif yang mengubah kita dan semuanya. Gue mau lo fokus dengan pengobatan lo dan hanya mengingat semua hasil positif dari jalan yang lo ambil karena sejujurnya, kalau lo kembali ke masa lalu dan gue bisa memberikan lo saran dan perintah ... gue akan minta lo untuk melakukan hal yang sama meskipun harus membutuhkan dua tahun, pengorbanan dan penantian yang panjang serta banyaknya air mata yang jatuh, tapi gue akan baik-baik aja seperti saat ini."

"Jade," panggil Ian dengan lirih, air matanya yang sudah berhenti secara paksa sejak dua tahun yang lalu, mendadak perlahan keluar dan membasahi wajah pria itu. Tidak peduli akan rasa mual yang ia rasakan, Ian hanya terus menerus menangis karena tidak percaya akan apa yang dikatakan oleh Jade. Wanita itu memaafkannya meskipun tidak dikatakan secara jelas dan tegas. Wanita itu berusaha untuk mengerti segalanya.

"Yang harus lo lakukan saat ini itu cuman satu, Ian. Berjuang. Gue mau lo terus berjuang untuk sembuh karena gue butuh lo disini."

Ian menatap mata Jade dan tersenyum hangat, "Gue akan terus ada untuk lo, Jade. Maaf karena gue membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuat kita ada di posisi saat ini. Maaf karena selama ini gue memperlakukan lo seperti pria brengsek."

"As you should," Jade terkekeh, mencoba untuk mencairkan suasana antara dirinya dan Ian.

"Sekarang dan seterusnya, gue janji akan terus berjuang untuk kita, Jade."

"No, Ian."

"Ya?"

"Gue mau lo berjuang untuk diri lo sendiri."

"..."

"..."

Jade menyunggingkan senyuman hangat dan cerianya, "Gue memutuskan untuk pergi dari Indonesia selama satu tahun dan menata diri gue sendiri, Ian. Gue butuh ruang dan waktu untuk diri gue sendiri setelah semua yang terjadi di hidup gue," ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Ian yang ada diatas meja, "tapi gue akan selalu ada disisi lo dengan cara gue sendiri, Ian."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang