TIGA BELAS

28 5 0
                                    

"Talk to me about yourself, please," pinta Mave,"I want to know you better than before."

"Apa ya,"

Melihat perubahan raut wajah dari perempuan yang berada didepannya itu, Mave berinisiatif mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan yang ia harap tidak membebani Jade, "Makanan apa yang paling lo suka?"

"Pizza, teh manis dengan gula cair," Jade tanpa berpikir menjawab pertanyaan yang diajukan. Ternyata ada yang dapat ia katakan tentang dirinya selain ia adalah perempuan yang gagal dalam percintaan.

"Sayuran? Haters or lovers?" tanya Mave.

"Haters," Jade memutar bola matanya, "well, to be honest, I tried to like them tapi kayaknya mereka yang nggak suka sama gue. Jadi, satu tahun yang lalu gue putusin untuk menerima kenyataan kalau sayuran memang bukan untuk gue."

Senyuman dari wajah Mave benar-benar tidak padam sedari tadi. Mungkin kalau orang lain melihatnya saat ini, ia dapat disangka orang gila. "Terbalik sama gue. I do love vegetables."

"Ah, nggak cocok berarti kita."

"Kata siapa?"

Jade mengerutkan kedua alisnya tanpa mengatakan apapun.

"No, it's perfect. I will eat every vegetable on your plate. Nothing goes to waste. It's a perfect match," Mave mengatakannya dengan penuh keyakinan.

Kalau saat ini Jade tidak berada dalam hubungan dengan siapapun dan sudah siap untuk beralih ke orang yang baru serta melupakan cintanya pada Ian, ia akan langsung memeluk Mave tanpa ragu dan mengiyakan segala sesuatu yang diminta oleh laki-laki itu. Jade menahan nafasnya sebagai reaksi akibat pernyataan yang terang-terangan dikatakan oleh Mave, pernyataan yang belum pernah ia dengar dari Ian selama mereka berpacaran. "Ye ... yeah."

"Ya, kan? Lo suka paprika di pizza?" Mave kembali bertanya, menghiraukan suasana canggung dan panas yang baru saja ia ciptakan.

"Ya! Paprika buat topping pizza are always the best!" Jade berseru.

Mave menjentikkan jarinya, "Perfect. Gue benci paprika. Jadi, sebagai gantinya setiap paprika yang ada di topping pizza gue bakalan dimakan sama lo dan sebaliknya, setiap sayur yang ada dipiring lo adalah milik gue."

"It's a deal," ujar Jade.

"Sold."

"Gue nggak nyangka kita bakalan kayak gini. I mean like," Jade kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Mave di lapangan basket. Ada rasa senang, sedih karena Mave mengingatkannya pada Ian dan tentu saja itu membuatnya tidak ingin dekat-dekat dengan Mave, namun semuanya berbeda saat ini. "When I first saw you," ia mengambil jeda untuk memilih kata-kata yang lebih tepat untuk mengutarakan perasaannya, "gue ngerasa kalau kita nggak bakalan bisa temenan."

"Why?"

"Nggak tau sih, lebih kayak ngerasa kalau kita nggak bakalan cocok aja. Apalagi pada saat itu juga gue lagi nggak mau buka diri ke orang lain, ya, mungkin itu bisa diitung sebagai salah satu faktor kalau gue rasa kita nggak bakalan bisa temenan. Not even in one room."

"Gue juga," kalau saja ia tidak mengganti pemikirannya dan terus meneruskan rasa tidak pedulinya dan tetap berada di zona nyamannya, ia tidak akan mungkin berada disini bersama dengan Jade dan melakukan percakapan ringan yang membuatnya nyaman. Bayangkan kalau kita mau bertemu dengan orang baru tapi keduanya tidak punya niatan untuk keluar dari rumah atau tempat singgahnya yang begitu nyaman. Ya, tidak akan ketemu kan? Sama berlakunya pada Jade dan Mave.

"Okay, kayaknya kita harus ganti topik pembahasan," Jade tertawa pelan, ia seperti merasakan kecanggungan yang akan kembali timbul diantara mereka berdua.

"Yeah, we should," Mave menaruh telapak tangan kanannya dibelakang leher miliknya, "so, coffee or tea?"

"Me?"

"Oh, kayaknya gue udah tau jawabannya deh."

"Oh ya?"

"You prefer tea, right? Dengan gula cair," Mave menjentikkan jarinya, "I knew it!" serunya.

"Ya," kata Jade sembari tersenyum, "mau tau alasan kenapa gue lebih suka teh dibanding kopi?"

"Definitely. Soalnya, untuk tipe mahasiswa kayak kita itu harusnya lebih prefer kopi. But, you are different," ujar Mave.

"Let me think something cliche to tell you as the reason why I choose tea instead the mainstream drinks," kekeh Jade, ia benar-benar mengambil jeda untuk berpikir sambil menatap pemandangan indah yang ada dihadapannya. Ketika ia sudah mendapatkan ide untuk menjawab pertanyaan Mave, ia menoleh dan mendapati cowok itu sedang menatap ke arahnya dengan sangat lekat. "Tea, tea time actually is a chance to slow down, pull back and appreciate our surroundings and our feelings."

"Woah! That's a real definition of cliche. Yet, I kinda like it," ujar Mave dengan tawanya yang begitu manis dan attractive bagi siapapun yang melihatnya saat ini, termasuk Jade. Matanya berubah menjadi lebih pekat ketika tertawa dan garis halus matanya juga ikut menarik keatas, membuatnya semakin lebih menarik di mata setiap perempuan.

"Tapi, bener kan?" tanya Jade.

"Jujur, gue kira lo bakalan bilang kayak you're not everyone's cup of tea but not everyone has good taste," ujar Mave yang membuat Jade menaikkan alisnya. Seperti mengerti arti dari tarikan kedua alis tersebut, ia kembali menjelaskan, "you are different. Yeah, mungkin itu doang yang bisa simpulin semuanya?"

"No, tell me more about it," pinta Jade.

"Damn," umpatnya, namun ia mengambil nafas panjangnya untuk menjelaskan apa yang ada dipikirannya saat ini. Biarlah, apapun yang terjadi, apapun kalimat klise yang akan keluar dari mulutnya dan nantinya akan mengubah impression atas dirinya dan Jade, ia tetap akan mengutarakan semuanya. "The world is filled with people who no matter what you do, no matter what you try, will simply not like you. But the world is also filled with those who will love you fiercely. And, because you are different¾you are making a new type of tea, pasti bakalan ngetrigger banyak orang untuk nyoba tapi balik lagi kan? Not everyone has good taste and bold to be different. Jadi, there is a possibility untuk orang suka or nggak suka, tergantung sama selera mereka juga."

Mave melanjutkan, "Yeah, either way you are loved juga sih."

Tidak ada perubahan respon dari lawan bicaranya yang alhasil membuat Mave mengigit bibir bawahnya sendiri. Dengan ragu dia berkata, "Do you hate me? Do you still want to be my friend?"

"Why would I hate someone who impresses me at first sight," kata Jade dengan penuh senyuman diwajahnya dan tanpa ragu tangannya menjulur ke atas kepala Mave dan mengacaknya dengan gemas. 

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang