EMPAT PULUH EMPAT

18 5 0
                                    

Setelah percakapan yang begitu intens dengan Kyla, semua orang memutuskan untuk pulang dan menyisakan Mave yang kembali menemani Jade seperti malam-malam sebelumnya. Yang berbeda hanyalah kali ini perempuan itu membalasnya ketika sedang berbicara. Mave tidak perlu berbicara sendiri layaknya orang gila lagi yang menunggu wanitanya bangun dari tidur panjangnya itu.

"Gue mau makan pecel lele ketika keluar dari rumah sakit," Jade berkata saat Mave menghampiri ranjangnya dan menutupi tubuhnya dengan selimut. "Lo mau temenin gue makan pecel?"

Kalimat ajakan yang keluar begitu saja dari Jade tentu saja membuat Mave terdiam, lebih tepatnya tidak bergeming di tempatnya. Tangan pria itu masih memegang selimut Jade sedangkan matanya menjurus ke arah perempuan itu juga.

"Kenapa? Lo nggak akan omelin gue kayak Kyla kan? Kayaknya gue udah cukup denger omelan buat hari ini," Jade berdeham, berusaha untuk menghilangkan kecanggungannya karena ia harus tidur bersama dengan laki-laki yang pernah ia ajak untuk play pretend. Ini akan menjadi kali pertamanya tidur di ruangan yang sama dengan seorang laki-laki. Hari-hari ia koma harus masuk ke dalam kategori pengecualian dan tidak dapat dihitung sebagai tidur bersama.

"Hah? Ng-nggak," Mave ikut berdeham, menarik tangannya dan meletakannya dibelakang leher, menandakan bahwa ia sangat gugup melihat Jade yang menatapnya kembali dengan hangat.

"Katanya lo kangen gue sebesar ini," Jade melakukan apa yang dilakukan pria itu ketika ia baru saja bangun dari koma singkatnya, ia melebarkan tangannya membentuk lingkaran yang sangat besar. "this much kan ya, Mave? Atau lebih dari ini?" ia tersenyum kecil.

"E-eh," Kenapa Mave jadi gugup seperti ini sih? Ah! Padahal ia sudah memutuskan untuk memutuskan urat malunya dan memprioritaskan pendekatannya dari teori menjadi praktik karena ia tidak mau kehilangan momen lagi. Tapi, ketika ia mulai menunjukan perasaannya, ia malah menjadi gugup dan pikirannya menjadi kosong seketika. Pengaruh Jade dihidupnya memang benar-benar gila.

Kalau Mave akan menjadi gugup, Jade malah memilih untuk menjadi seseorang yang tenang dan tetap dengan pembawaannya, "Jadi, lo mau temenin gue atau nggak?" ulangnya sekali lagi. "Kalau nggak mau juga nggak masalah. Gue bisa ajak cowok lainnya untuk temanin gue makan."

"Apa?"

"Iya, gue bisa ajak cowok lain. Masih ada banyak kok. Ian juga kayaknya bisa temenin gue makan sebagai pengganti rasa bersalahnya."

"Apa?"

"Apaan sih, Mave? Kenapa lo mendadak nggak bisa dengar gini deh!" seru Jade dengan kesal, "nggak suka!" Sebetulnya itu tidak begitu marah karena ia tau meskipun pria itu menggodanya sepanjang hari ini, Mave pasti akan tetap malu-malu kucing.

"Ah, maaf," Mave menundukkan kepalanya, namun sedetik kemudian ia kembali ke posisi semulanya. "Kalau memang permintaan dan kemauan lo adalah pecel lele, maka gue akan menurutinya, Jade. Tanpa harus lo tanya, jawaban gue akan tetap ya untuk apapun ketika itu semua menyangkut lo."

Sepuluh detik. Tiga puluh detik. Lima puluh detik kemudian. Masih tidak ada balasan dari Jade ketika hati dan pikirannya baru saja dijatuhkan bom besar. Lidahnya kelu, matanya tidak bisa ia kedipkan lagi, sedangkan mulut dan lidahnya? Semuanya menjadi canggung, namun tawa mereka mulai terdengar ketika keduanya secara tidak sengaja saling menatap layaknya remaja yang baru saja jatuh cinta.

Jade kembali berdeham, berusaha untuk membuang jauh rasa canggungnya. "You know, I dreamt about you."

"Oh, ya."

"Oh, ya? Cuman itu respon yang gue dapatin nih?" goda Jade.

"Nggak," Mave memutar badannya untuk mengambil bangku yang tidak jauh disana dan membuatnya mendekat ke perempuan yang sepertinya ingin mengobrol semalaman dengannya, setidaknya tatapan dari Jade yang membuat ia meyakini asumsinya. "Jadi, lo mimpiin apa di tidur panjang lo itu?"

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang